Senin, 07 April 2014

Bolpoin Berstatus Sosial


Oleh: Yuslisul Pransiskasari
Mahasiswa Tadris Matematika IAIN Tulungagung

Bolpoin menjadi benda tak asing dalam dunia tulis menulis. Kepemilikan bolpoin tidak hanya berada pada kalangan akademisi pendidikan, pejabat, dan bergerak di bidang formal. Bolpoin dimiliki untuk menunjang kebutuhan setiap manusia. Kernet bus, petugas simpan pinjam, pegawai bank, pedagang sayur, tukang bubur, pengusaha toko dan lain-lain. Mereka menggunakan bolpoin untuk melakukan kerja harian. 

Ketika masih SD kelas dua guruku melarang siswanya untuk menggunakan bolpoin. Perkara larangan bukan terletak pada jenjang kelas. Namun jenjang kelas dua dinilai belum terampil menggunakan bolpoin. Berbagai alasan dilayangkan untuk membungkam sikap siswa agar tidak menggunakan bolpoin saat itu. Alasan lain

Jurnalis berkisah Sastra


Oleh: Yuslisul Pransiskasari

Mendapati buku keluaran lama berperasaan berbeda. Ada hal tak terungkapkan manakala menyentuh, terlibat dalam bayangan masa lalu dalam ingatan yang tak karuan, campur aduk bahkan tak tertata. Menghadirkan diri dalam menikmati buku bukan lagi sebuah kebimbangan. Adalah seikat kepercayaan bahwa diri mampu membawa pengaruh dalam berikhtiar menyelesaikan buku. Usai selesai bentuk lega datang tak sembunyi-sembunyi. Menyapa dan bergabung menjadi diri yang berani.  

Keberanian bermula. Tercipta keinginan. Keinginan untuk memiliki buku berlatar lawas. Buku berlatar lawas tak pernah mendiami toko buku. Gramedia, Togamas, dan sejenisnya menawarkan buku baru berkelas best seller. Buku lawas ada tapi tak berjeda lama. Tak terjamah, berdebu, tanpa plastik dan bernoda.