Aku seorang mahasiswa semester
tujuh. Sekarang aku sedang menikmati kegiatan kkn. Kau tahu apa yang dilakukan
mahasiswa ketika kkn? Bilang saja tidak tahu. Jangan memaksa diri untuk
berbohong. Kasihan dirimu. Kau ingin tahu jawabannya tidak? Bila tidak, kupaksa
kau untuk mau mendengarkannya.
Dimulai dari sekarang.
Kami sampai di desa Masaran dusun
Jumok, Minggu siang. Diantar truk dari kampus jam sembilan. Perjalanan menuju
ke dusun ini sungguh penuh perjuangan. Mulai dari sopir truk yang menahan
kakinya untuk sesering mungkin menginjak rem karena aspal rusak, sampai
penumpang yang berada di badan truk merasa kocak perutnya karena jalan terjal
itu.
Sopir truk itu tetangga temanku
yang bernama Nurun Nafilatus. Kami akrab memanggilnya ibu kos dan kadang-kadang
memanggilnya nyonya. Karena apa? Bayangkan saja perawakannya. Tubuhnya bongsor.
Pipinya mulai tembem dan chubby
ketika dia berada di tempat kkn. Suatu ketika dia memakai gamis seperti ibu-ibu
arisan. Nampaklah diri dia yang sesungguhnya dan bersamaan dengan itu seorang teman memanggilnya ibu kos. Dan sampai saat kkn berakhir dia
dijuluki dan sering diajak bercanda soal kos-kossan.
Selain ibu kos, dia mengabdi
kepada orang tua dengan tanpa perlawanan dipanggil Fila. Punya dua orang adik:
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ketika berangkat ke tempat kkn, Fila
mengajak adik laki-lakinya untuk menemani pak Sopir. Fila menitipkan printer
untuk digunakan di tempat kkn kepada adiknya. Tragedi terjadi. Printer Fila
bocor. Usut-diusut ternyata si adek membiarkannya bergoyang di atas dudukan
diantara dia dan pak sopir. Dia sesekali memegangi ketika printer itu akan
jatuh.
Pak sopir pun awas dengan jalan.
Jalan menuju lokasi kkn sungguh memprihatinkan. Akses jalan yang ditempuh
meliputi desa ngares, srabah, sumurup, suren lor, masaran. Akses jalan mulus
sampai sumurup. Memasuki daerah Suren Lor, akses jalan mulai rusak. Memasuki
daerah perbatasan antara desa Suren Lor dan desa Masaran, kami melihat jalan
makin buruk. Hamparan hutan yang memanjakan mata serta herannya orang desa
mendapati kami berbondong-bondong memasuki desa mereka, tak luput dari susahnya
akses jalan yang harus ditempuh.
Kami bertujuh belas hanya pindah
tempat tidur. Dan terkadang kami sedikit berpikir tentang kondisi yang ada
disini.Sok berpikir. Memikirkan air yang tak kunjung mengalir. Soal air, kami merasa tidak
cukup. Tak cukup untuk mencuci baju, piring, badan dan untuk diminum. Warna air
disini tidak bening. Sangat kotor. Buthek.
Berwarna coklat, atau kadang kuning bercampur lempung. Ada air bilik yang
jernih tapi banyak lumut. Ketika musim hujan tiba, kami sering menampung air
hujan ke timba-timba kosong, galon-galon kosong. Air hujan digunakan untuk memasak. Na-as.
Sungguh, ini namanya beneran KKN.
nambaaah lg yuus
BalasHapussudah nambah lho, bacalah.
HapusIya mb yus. .nambah lg,kurang. . .
BalasHapusTp aq ska tlisnmu. . .:-)
sudah kutambah, berkunjunglah lagi
Hapus