Sabtu, 31 Januari 2015

KKN [Akses Jalan]

*ditulis ketika masa kkn dan diedit sebulan setelah kkn usai


Aku seorang mahasiswa semester tujuh. Sekarang aku sedang menikmati kegiatan kkn. Kau tahu apa yang dilakukan mahasiswa ketika kkn? Bilang saja tidak tahu. Jangan memaksa diri untuk berbohong. Kasihan dirimu. Kau ingin tahu jawabannya tidak? Bila tidak, kupaksa kau untuk mau mendengarkannya.

Dimulai dari sekarang. 

Kami sampai di desa Masaran dusun Jumok, Minggu siang. Diantar truk dari kampus jam sembilan. Perjalanan menuju ke dusun ini sungguh penuh perjuangan. Mulai dari sopir truk yang menahan kakinya untuk sesering mungkin menginjak rem karena aspal rusak, sampai penumpang yang berada di badan truk merasa kocak perutnya karena jalan terjal itu.

Sopir truk itu tetangga temanku yang bernama Nurun Nafilatus. Kami akrab memanggilnya ibu kos dan kadang-kadang memanggilnya nyonya. Karena apa? Bayangkan saja perawakannya. Tubuhnya bongsor. Pipinya mulai tembem dan chubby ketika dia berada di tempat kkn. Suatu ketika dia memakai gamis seperti ibu-ibu arisan. Nampaklah diri dia yang sesungguhnya dan bersamaan dengan itu seorang teman memanggilnya ibu kos. Dan sampai saat kkn berakhir dia dijuluki dan sering diajak bercanda soal kos-kossan.

Selain ibu kos, dia mengabdi kepada orang tua dengan tanpa perlawanan dipanggil Fila. Punya dua orang adik: seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ketika berangkat ke tempat kkn, Fila mengajak adik laki-lakinya untuk menemani pak Sopir. Fila menitipkan printer untuk digunakan di tempat kkn kepada adiknya. Tragedi terjadi. Printer Fila bocor. Usut-diusut ternyata si adek membiarkannya bergoyang di atas dudukan diantara dia dan pak sopir. Dia sesekali memegangi ketika printer itu akan jatuh.

Pak sopir pun awas dengan jalan. Jalan menuju lokasi kkn sungguh memprihatinkan. Akses jalan yang ditempuh meliputi desa ngares, srabah, sumurup, suren lor, masaran. Akses jalan mulus sampai sumurup. Memasuki daerah Suren Lor, akses jalan mulai rusak. Memasuki daerah perbatasan antara desa Suren Lor dan desa Masaran, kami melihat jalan makin buruk. Hamparan hutan yang memanjakan mata serta herannya orang desa mendapati kami berbondong-bondong memasuki desa mereka, tak luput dari susahnya akses jalan yang harus ditempuh.

Kami bertujuh belas hanya pindah tempat tidur. Dan terkadang kami sedikit berpikir tentang kondisi yang ada disini.Sok berpikir. Memikirkan air yang tak kunjung mengalir. Soal air, kami merasa tidak cukup. Tak cukup untuk mencuci baju, piring, badan dan untuk diminum. Warna air disini tidak bening. Sangat kotor. Buthek. Berwarna coklat, atau kadang kuning bercampur lempung. Ada air bilik yang jernih tapi banyak lumut. Ketika musim hujan tiba, kami sering menampung air hujan ke timba-timba kosong, galon-galon kosong. Air hujan digunakan untuk memasak. Na-as. Sungguh, ini namanya beneran KKN.

4 komentar:

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah