Sabtu, 21 Juni 2014

Suwardi: Politik dan Pendidikan

Oleh: Yuslisul Pransiskasari*

Membaca buku biografi layaknya meminum segelas cincau capucino yang sedang marak menjadi konsumsi bersama. Bagaimana tidak? Tegukan pertama membuat haus tidak kunjung usai. Lagi dan lagi. Kesegaran tokohnya di masa gemilang membuat pembaca mencari tahu siapa dan apa-apa yang memasak tokoh hingga sematang pemikirannya. Alhasil bumbu-bumbu disiapkan, koki hebat didatangkan. Mencicipi tokoh Internasional berharga lokal. Lalu mencicipi harus terus ditelusuri hingga sempurna rasa tokoh yang dikehendaki.

Pranata dengan segala kekurangannya menyuguhkan biografi kecil tentang Ki Hajar Dewantara. Pranata turut ingin berkontribusi. Mengabadikan jejak dalam perjumpaan Pranata dengan Ki Hajar Dewantara  dalam buku. Prijana, ketika itu berkedudukan sebagai menteri dalam Kabinet Karja turut dimintai bantuan untuk menorehkan barang selembar dua lembar tulisannya untuk sang tokoh pendidikan.

Suwardi Masa Kecil

Suwardi kecil lahir di Jogjakarta tanggal 02 Mei 1889. Keluarganya tidak pernah jauh dari kebiasaan religi. Dekat dengan masjid dan langgar menjadi pendukung kehidupan religi dalam keluarga Suwardi. Kegiatan rutinan malam Minggu Kliwon, bertepatan dengan hari lahir Pangeran Suryaningrat, ayah Suwardi.

Kegiatan rutin lainnya, tiap hari jumat, bersembahyang bersama ulama-ulama. Seusai pulang ulama-ulama tersebut ikut singgah ke rumah Suwardi. Kehidupan ayahnya yang sarat dengan religi tersebut berdampak pada pendewasaan Suwardi.

Suwardi kecil sudah mulai menampakkan bakat seni. Seni sastra, seni gending dan seni suara dia pelajari di rumah. Buku-buku yang dibacanya meliputi Gending, Lokapala, dan Ramayana menyuguhkan sosok tokoh yang menjadi pujaan Suwardi. Yakni tokoh wayang bernama Yudistira dan Kresna karena sifat dan watak serta kekayaan rohani yang membuat hati Suwardi kepincut. Tidak hanya itu. Cara berpikir Suwardi mulai terpengaruh oleh buku ajaran “Islam ala Sultan Agung” yang diberi nama sastra Gending.

Suwardi tumbuh di tengah keluarga beragama dan rakyat. Pertumbuhan pemikiran Suwardi dipengaruhi oleh sifat-sifat dan watak dua tokoh pujaannya. Yudistira dan Kresna.  Keterlibatan Suwardi dengan anak-anak rakyat membuat dirinya dekat dengan kehidupan  rakyat. Pernah suatu hari Suryaprana, kakak Suwardi, berkelahi. Suwardi ikut kakaknya memerangi anak-anak Belanda berkulit putih, angkuh, sombong, dan suka menghina kalangan anak-anak rakyat.

Adat dodoksembah yang diberlakukan para bangsawan ditentang keras oleh Suwardi. Disebabkan oleh kesan perbudakan yang membawahi feodalisme. Ketinggian martabat diukur dari keturunan.   

Suwardi Muda

Usia 14 tahun di tahun 1903, Suwardi masuk STOVIA di Jakarta. Tinggal di asrama bersama 200 orang pelajar dari berbagai daerah. Perbedaan daerah menimbulkan perbedaan bahasa ibu, adat, serta agama. Namun karena perbedaan itulah Suwardi mengenal kata nasionalis beralaskan Bhinneka Tunggal Ika, bangsa yang beraneka warna tetapi hakikatnya satu jua. Perbedaan itu nampak di Jakarta yang bukan merupakan kota feodal. Feodalisme digempur oleh modernisme.

Kehidupan modern tak lantas menggempur nilai-nilai yang ada dalam diri Suwardi. Ketika Budi utomo dibentuk pada tanggal 20 Mei 1908, Suwardi muda bergabung dengan organisasi yang beralaskan politik dan kebudayaan yang berpangkal pada ajaran humanisme.

Perjalanan menempuh proses berpolitik berlanjut pada Serikat Dagang Islam yang diperluas menjadi SI
(Serikat Islam) pada tahun 1912 dibawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Suwardi ditunjuk menjadi ketua SI cabang Bandung dengan Abdul Muis sebagai sekretarisnya. Pada tahun bergabungnya dengan SI, Suwardi bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker mendirikan partai politik yang pertama bernama IP (Indische Partai).

Tahun 1909 Suwardi angkat kaki dari STOVIA karena himpitan ekonomi. STOVIA tidak menjadi akhir dari sekolahnya. kemudian Suwardi melanjutkan bekerja. Bekerja di pabrik, di apotik dan menjadi jurnalis yang akhirnya menjadi jurnalis dapat menarik hatinya.

Keinginan kuat bergelut dalam bidang jurnalistik dibuktikan Suwardi dengan menulis beberapa karangan yang disebarluaskan secara bebas, salah satunya berjudul “Als ik eens een Nederlander was” yang dalam bahasa Indonesia berarti jika aku seorang Belanda. Tulisannya dimaksudkan untuk memberi serangan pada orang Belanda yang ingin merayakan kemerdekaan bangsanya di tanah Indonesia.

Dalam isi suratnya Suwardi sempat memberikan kesan bahwa dirinya minder. “Tetapi … aku bukan orang Belanda, aku hanya anak bangsa berkulit tjoklat, penduduk tanah djadjahan Belanda…” Perasaan bahagia juga diungkapkan dalam suratnya. “Akan kuminta kepada semua teman-temanku sebangsa dan sesama penduduk tanah djadjahan kerajaan Belanda untuk ikut merajakannya, karena walaupun perajaan itu semata-mata kepentingan Belanda, ada djuga disitu kesempatan bagi kita untuk menjatakan isi hati dansetia kepada negeri Belanda. Dengan demikian kita akan mengadakan demonstrasi kesetiaan. Alangkah besarnja kegembiraanku. Syukurlah bahwa aku bukan seorang Belanda …”

Tulisan Suwardi mendapat dukungan dari Dr. Cipto Mangunkusumo. Beliau menulis karangan yang dimuat dalam suratkabar De Expres, Juli 1913 dengan judul “Kekuatan atau Ketakutan?” Disusul  dengan tulisan Suwardi berjudul “Satu buat Semua dan Semua buat Satu.” Kemudian Douwes Dekker menulis karangan berjudul “Pahlawan Kita, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat.” Ungkapan slaing dukung tersebut dilakukan lewat tulisan yang kemudian tiga orang tersebut disebut dengan istilah tiga serangkai. R.M. Suwardi Sujaningrat, Dr. E.F.E Douwes Dekker (sesudah revolusi bernama: Dr. Danudirdja Setiabudi) dan Dr. Tjipta Mangunkusuma.

Selanjutnya tulisan mereka justru menjadi ancaman bagi diri mereka sendiri. Dr. Cipto dan Suwardi ditangkap kemudian dijebloskan ke sel penjara. Pada bulan itu juga Pemerintah Djadjahan mengasingkan Suwardi ke pulau Bangka, Dr. Cipto ke Bandanaira dan Dr. Douwes Dekker ke pulau Timor. Tiga serangkai terpisah dan diasingkan ke berbeda pulau.

Suwardi diasingkan

Suwardi diasingkan ke negeri Belanda setelah menikah dengan R.A. Sutartinah Sasraningrat yang kemudian dipanggil Nji Hadjar. Hidup Suwardi semakin miskin. Namun dia berbangga karena bertemu dengan orang-orang Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Suwardi mendapat bantuan dari beberapa kawannya. Mr. Gandawinata sering memberinya lungsuran pakaian, Ir. Subardjo dan teman-teman sering memberi bantuan beras.

Pesta bersama dengan menikmati menu masakan Indonesia diadakan di rumah Suwardi atas biaya pelajar-pelajar Indonesia. Prof. Dr. Koolemans Beymen, guru besar Universitas Den Haag, bekas guru Suwardi di STOVIA sering memberi pertolongan kesehatan kepada keluarga Suwardi. Selain itu, kegiatan politik Suwardi  masih terus berjalan dengan bekerja sebagai wartawan dan kolportir iklan.

Di negeri pengasingan Suwardi mempelajari Ilmu Pendidikan dan berhasil mendapat ijazah. Suwardi mulai berkenalan dengan pikiran Montessori, Rudolf Steiner dan Rabindranath Tagore. Tiga tokoh pendidikan yang paling kuat mempengaruhi diri Suwardi. Ketertarikannya terhadap kesusastraan dan menggemari wayang serta gending tidak berkurang. Di Eropa Suwardi menggemari music dan opera serta sandiwara. Tahun 1918, ketika ulang tahun Budi Utama, Nyi Hajar menari dan Suwardi memimpin gamelan.

Masa pengasingannya dicabut oleh pemerintah Belanda, Suwardi pulang ke Indonesia. Karena tulisannya, Suwardi masuk penjara Semarang., kemudian penjara Pekalongan. Suwardi yang bolak balik masuk penjara tidak membuatnya jera terjun menjadi wartawan politik. Karir politiknya terus berjalan. Hingga suatu ketika pengalaman politik membawanya ke daerah yang membuat dirinya kebih kuat dan masyhur di dalam dan di luar Indonesia sebagai bapak Pendidikan Nasional Indonesia.

Suwardi dan Taman Siswa
Perguruan Taman siswa didirikan tanggal 3 Juli 1922. Waktu itu baru satu kelas bernama Taman-Indria yang berisi 20 orang anak di Jogjakarta. Tak jarang ejekan, semoohan, kritik, hinaan selalu melingkupi pendirian perguruan baru ini. Berlangsung selama 8 tahun Suwardi dan perguruan Taman Siswa berjalan sendirian.

Tanpa terduga perguruan Taman Siswa berkembang sangat cepat. Sebelum Perang Dunia kedua, Taman Siswa memiliki 200 cabang perguruan yang tersebar di kepulauan Indonesia dengan 20.000 murid dari sekolah rendah, sekolah menengah atas, sekolah tani sampai sekolah guru pertama dan atas.

Pemerintah Belanda khawatir atas kemajuan perguruan Taman Siswa. Banyak sekolah yang mulai menyerahkan diri pada perguruan Taman Siswa. Beberapa diantaranya adalah sekolah yang diusahakan olehBO (Budi Oetama) dan Sarikat Rakyat (sekolah-sekolah yang didirikan dan dipimpin oleh Tan Malaka) di Jawa Barat, Sumatra Timur, dan Jakarta.

Sekolah Rakyat yang diusahakan oleh Sarikat Rakyat cabang Bandung, diserahkan pada Ir. Soekarno (yang menjadi presiden pertama Republik Indonesia) kemudian oleh Ir. Soekarno diserahkan kepada Taman Siswa pada tahun 1923. Dalam suatu sesi, Ir. Soekarno ketika menjabat Presiden dan Semaun, pemimpin komunis tahun 1922, dengan bangga berkata: “Ki Hadjar Dewantara guru saja.”

Suwardi meraih puncak pendidikan dalam masa pendirian perguruan Taman Siswa. Kedudukan dan perannya semakin melebar di lapangan kebudayaan. Saat inilah Suwardi mengubah namanya yang semula, Raden Mas Suwardi Surjaningrat (yang agak berbau kebangsawan-bangsawanan karena adanya gelar Raden Mas, yang menurut adat hanya boleh dipakai oleh orang keturunan bangsawan) menjadi Ki Hadjar Dewantara (guru
perantara dewa) karena sebutan Ki mengandung sifat kerakyatan, tanggal 23 Pebruari 1928.

KHD (Ki Hadjar Dewantara) mendidikan Taman Siswa sebagai sebuah perguruan. Istilah perguruan diambil untuk membedakan dari kata sekolah yang pada masa itu Suwardi mengatakan sekolah sebagai pabrik yang tak berjiwa. Guru dan murid tinggal seatap sebagai satu keluarga. Hubungan batin dikelola sangat erat antaa guru dan murid meskipun murid sudah meninggalkan perguruan.

Dengan sistem perguruan, sosok guru selalu ada tiap waktu untuk murid. Berlaku sebaliknya. Sosok guru menjadi sangat penting manakala tidak hanya di depan kelas, di sekolah guru berperan. Namun, setiap saat, setiap tempat, ketika mengajar atau sewaktu mengatur rumah tangga, maupun sewaktu melaksanakan tugas-tugas sosial di tengah-tengah masarakat. Sosok guru mendominasi untuk turut ikut melibatkan kehidupan guru dalam tumbuh kembang pendidikan murid.

Buku garapan Pranata mengajarkan pembaca tahu siapa guru dari seorang tokoh yang sedang dipelajari. Terlepas dari kekaguman Pranata pada Ki Hajar. Pranata berhasil memberitakan Ki Hajar dalam bukunya. Mempertemukan orang-orang tidak terkenal lewat sosok orang-orang terkenal. Orang-orang terkenal memiliki pengaruh untuk memberitahukan bahwa orang-orang tidak terkenal patut jadi pertimbangan untuk menapaki jejak selanjutnya.


*Nutrisi Kamis malam bersama jemaat Yasinan Buku, monggo hadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah