Oleh
: Yuslisul Pransiskasari*
Bencana tahunan yang tidak absen
datang dan berkawan dengan masyarakat adalah banjir dan longsor. Banjir terjadi
akibat adanya penumpukan sampah yang menyumbat aliran sungai. Penumpukan sampah
yang dilakukan secara terus menerus dapat menekan posisi air sungai hingga
volume air tersebut menaik dan meluber serta menggenangi daratan dengan
kapasitas besar. Sedangkan longsor terjadi akibat anjloknya tanah karena adanya
penebangan pohon yang menyebabkan hutan gundul. Penebangan hutan tersebut tidak
dibarengi dengan kegiatan penanaman kembali.
Istilah
kata yang bersifat fleksibel mengantarkan kata banjir tidak hanya digunakan
sebagai salah satu contoh peristiwa alam saja, sistem komunikasi manusia berpeluang
untuk menuai hasil yang sama.
Dalam sistem tersebut manusia terlibat secara aktif menggunakan bahasa sebagai suatu alat komunikasi. Komunikasi dengan orang tua, orang lain, lingkungan dan masyarakat sekitar. Bahasa yang terlibat sebagai proses interaksi dapat mempengaruhi cara manusia berkomunikasi.
Dalam sistem tersebut manusia terlibat secara aktif menggunakan bahasa sebagai suatu alat komunikasi. Komunikasi dengan orang tua, orang lain, lingkungan dan masyarakat sekitar. Bahasa yang terlibat sebagai proses interaksi dapat mempengaruhi cara manusia berkomunikasi.
Setiap
harinya, konsumsi kata-kata oleh manusia yang merupakan hasil dari proses
interaksi menyebabkan manusia memiliki timbunan kosakata. Timbunan tersebut
bermula dari kata-kata sederhana yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Nyatanya
kemampuan mengumpulkan tidak sebanding dengan kemampuan manusia dalam mengolah
kosakata. Terjadinya ketidaksinambungan antar kata mengakibatkan bangunan
pemaknaan kalimat sulit dicapai tingkat kepahamannya. Pengolahan bahasa sesuai
ruang lingkupnya mengarah pada istilah banjir dalam konteks geografi dan bahasa
yang tidak dilakukan secara serius.
Selain
itu, perolehan kosakata dari berbagai pihak yang tidak dibarengi dengan proses
panjang filtrasi menjadikan penumpukan kosakata hanya berakhir pada kegiatan meniadakan
kosakata lama dan menggantinya dengan kosakata baru dengan alasan lebih
familiar diterima. Contoh kasus pada tayangan TV yang secara serentak
menggunakan istilah kata banjir hanya pada wilayah bencana alam. Tokoh
masyarakat, praktisi, politisi, ahli mengamini dan sepakat bahwa kata banjir
hanya digunakan sebagai aktivitas bencana alam.
Sama
halnya dengan istilah bahasa longsor. Kata-kata yang cenderung memuat bencana
alam akan digunakan secara masif pada wilayah yang telah disepakati; bencana
alam. Padahal bencana alam adalah contoh kecil masalah. Persoalannya bukan pada
bencana alam tapi terlebih pada kesatuan masalah yang terletak pada kata
bencana. Kata bencana mutlak bukan hanya menjadi milik bencana alam, dapat juga
digunakan pada wilayah masalah yang lain yakni bencana bahasa.
Aktivitas
meletakkan istilah yang hanya dimaknai pada wilayah tertentu saja namun
dipahami secara bersama sebagai arti yang sesungguhnya dapat membumihanguskan
arti istilah tersebut di wilayah yang lain. Seperti kata bencana alam yang
menyoroti masalah fenomena alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi, tidak sama
halnya dengan bencana bahasa. Bencana bahasa lebih condong mengupas tentang hal
ihwal terkait masalah kebahasaan. Istilah banjir bahasa dan bahasa longsor
sudah menjadi tren yang tidak disadari oleh konsumen. Secara tidak langsung
program TV yang dikemas sedemikian rupa pada akhirnya bertujuan untuk
mempasifkan penonton sebagai pihak penerima tanpa memancing umpan balik.
Program-program
yang ditayangkan di TV menggunakan bahasa baru yang memantik penonton untuk
mengadopsi dalam tindak lakunya. Pada proses mengenal istilah baru, penonton
yang berlaku sebagai penikmat telah dimasuki wilayah privacy-nya berupa kebahasaan diri dalam memaknai tayangan yang
sedang dinikmati. Komunikasi searah yang terbentuk ketika proses menonton
sedikit demi sedikit terbangun dan lambat laun dapat menenggelamkan kemampuan
menanggapi respon. Kemasan hiburan pada komunikasi searah dimana penonton diperlakukan
sebagai penikmat dapat mengurangi kecepatan seseorang dalam menanggapi respon
dengan baik.
Terlambatnya
seseorang dalam mengolah kosakata yang setiap harinya bertambah berdampak pada
penurunan kemampuan. Karena proses pengolahan kosakata terjadi secara tidak
maksimal pada individu maka proses tersampainya informasipunseharusnya mampu
menjadikan tidak akan maksimal. Individu tidak akan seratus persen mampu
mengenali dirinya secara personal. Personal yang seharusnya mampu membentuk
pondasi diri untuk mulai mengenal kebahasaan diri. sKemudian setelah
ketidakmaksimalan terjadi pada personal merembet pula pada proses berkomunikasi
dengan orang lain.
Fungsi
komunikasi pada akhirnya berada pada taraf yang tidak menentu, menawarkan
bahasa dengan konsekuensi bencana. Manusia sebagai subyek pemakai bahasa
layaknya berusaha keras untuk mengenal identitas kebahasaan dirinya. Agar
fungsi bahasa sebagai media komunikasi tidak serta merta dimaknai secara
sepihak, searah yang hanya meninggalkan kesan sementara dan tidak penting. Mengadakan
umpan balik, bertanya kembali mengenai apa yang telah diterima selama ini,
tidak menelannya mentah-mentah merupakan landasan yang perlu diketahui.
*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Pertama tentang banjir bahasa dan bahasa longsor)
Bahasa adalah jembatan, memudahkan manusia untuk berbagi makna. Namun di lain sisi, bahasa adalah belenggu, yang karena keterbatasannya, bahasa tak selalu berhasil menyampaikan makna. Sutardji bilang, "Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa." Selalu ada yang tak dapat, atau setidaknya tidak sempat terekam oleh bahasa.
BalasHapusiya mas, dua unsur yang tak pergi untuk kembali. terimakasih sudah berkenan mampir.
Hapus