Senin, 03 Maret 2014

Bencana Bahasa dalam Berkomunikasi

Oleh : Yuslisul Pransiskasari*

Bencana tahunan yang tidak absen datang dan berkawan dengan masyarakat adalah banjir dan longsor. Banjir terjadi akibat adanya penumpukan sampah yang menyumbat aliran sungai. Penumpukan sampah yang dilakukan secara terus menerus dapat menekan posisi air sungai hingga volume air tersebut menaik dan meluber serta menggenangi daratan dengan kapasitas besar. Sedangkan longsor terjadi akibat anjloknya tanah karena adanya penebangan pohon yang menyebabkan hutan gundul. Penebangan hutan tersebut tidak dibarengi dengan kegiatan penanaman kembali.
            Istilah kata yang bersifat fleksibel mengantarkan kata banjir tidak hanya digunakan sebagai salah satu contoh peristiwa alam saja, sistem komunikasi manusia berpeluang untuk menuai hasil yang sama.
Dalam sistem tersebut manusia terlibat secara aktif menggunakan bahasa sebagai suatu alat komunikasi. Komunikasi dengan orang tua, orang lain, lingkungan dan masyarakat sekitar. Bahasa yang terlibat sebagai proses interaksi dapat mempengaruhi cara manusia berkomunikasi.
            Setiap harinya, konsumsi kata-kata oleh manusia yang merupakan hasil dari proses interaksi menyebabkan manusia memiliki timbunan kosakata. Timbunan tersebut bermula dari kata-kata sederhana yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Nyatanya kemampuan mengumpulkan tidak sebanding dengan kemampuan manusia dalam mengolah kosakata. Terjadinya ketidaksinambungan antar kata mengakibatkan bangunan pemaknaan kalimat sulit dicapai tingkat kepahamannya. Pengolahan bahasa sesuai ruang lingkupnya mengarah pada istilah banjir dalam konteks geografi dan bahasa yang tidak dilakukan secara serius.
            Selain itu, perolehan kosakata dari berbagai pihak yang tidak dibarengi dengan proses panjang filtrasi menjadikan penumpukan kosakata hanya berakhir pada kegiatan meniadakan kosakata lama dan menggantinya dengan kosakata baru dengan alasan lebih familiar diterima. Contoh kasus pada tayangan TV yang secara serentak menggunakan istilah kata banjir hanya pada wilayah bencana alam. Tokoh masyarakat, praktisi, politisi, ahli mengamini dan sepakat bahwa kata banjir hanya digunakan sebagai aktivitas bencana alam.
            Sama halnya dengan istilah bahasa longsor. Kata-kata yang cenderung memuat bencana alam akan digunakan secara masif pada wilayah yang telah disepakati; bencana alam. Padahal bencana alam adalah contoh kecil masalah. Persoalannya bukan pada bencana alam tapi terlebih pada kesatuan masalah yang terletak pada kata bencana. Kata bencana mutlak bukan hanya menjadi milik bencana alam, dapat juga digunakan pada wilayah masalah yang lain yakni bencana bahasa.
            Aktivitas meletakkan istilah yang hanya dimaknai pada wilayah tertentu saja namun dipahami secara bersama sebagai arti yang sesungguhnya dapat membumihanguskan arti istilah tersebut di wilayah yang lain. Seperti kata bencana alam yang menyoroti masalah fenomena alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi, tidak sama halnya dengan bencana bahasa. Bencana bahasa lebih condong mengupas tentang hal ihwal terkait masalah kebahasaan. Istilah banjir bahasa dan bahasa longsor sudah menjadi tren yang tidak disadari oleh konsumen. Secara tidak langsung program TV yang dikemas sedemikian rupa pada akhirnya bertujuan untuk mempasifkan penonton sebagai pihak penerima tanpa memancing umpan balik.
            Program-program yang ditayangkan di TV menggunakan bahasa baru yang memantik penonton untuk mengadopsi dalam tindak lakunya. Pada proses mengenal istilah baru, penonton yang berlaku sebagai penikmat telah dimasuki wilayah privacy-nya berupa kebahasaan diri dalam memaknai tayangan yang sedang dinikmati. Komunikasi searah yang terbentuk ketika proses menonton sedikit demi sedikit terbangun dan lambat laun dapat menenggelamkan kemampuan menanggapi respon. Kemasan hiburan pada komunikasi searah dimana penonton diperlakukan sebagai penikmat dapat mengurangi kecepatan seseorang dalam menanggapi respon dengan baik.
            Terlambatnya seseorang dalam mengolah kosakata yang setiap harinya bertambah berdampak pada penurunan kemampuan. Karena proses pengolahan kosakata terjadi secara tidak maksimal pada individu maka proses tersampainya informasipunseharusnya mampu menjadikan tidak akan maksimal. Individu tidak akan seratus persen mampu mengenali dirinya secara personal. Personal yang seharusnya mampu membentuk pondasi diri untuk mulai mengenal kebahasaan diri. sKemudian setelah ketidakmaksimalan terjadi pada personal merembet pula pada proses berkomunikasi dengan orang lain.
            Fungsi komunikasi pada akhirnya berada pada taraf yang tidak menentu, menawarkan bahasa dengan konsekuensi bencana. Manusia sebagai subyek pemakai bahasa layaknya berusaha keras untuk mengenal identitas kebahasaan dirinya. Agar fungsi bahasa sebagai media komunikasi tidak serta merta dimaknai secara sepihak, searah yang hanya meninggalkan kesan sementara dan tidak penting. Mengadakan umpan balik, bertanya kembali mengenai apa yang telah diterima selama ini, tidak menelannya mentah-mentah merupakan landasan yang perlu diketahui. 

*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Pertama tentang banjir bahasa dan bahasa longsor)

2 komentar:

  1. Bahasa adalah jembatan, memudahkan manusia untuk berbagi makna. Namun di lain sisi, bahasa adalah belenggu, yang karena keterbatasannya, bahasa tak selalu berhasil menyampaikan makna. Sutardji bilang, "Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa." Selalu ada yang tak dapat, atau setidaknya tidak sempat terekam oleh bahasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, dua unsur yang tak pergi untuk kembali. terimakasih sudah berkenan mampir.

      Hapus

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah