Sabtu, 15 Maret 2014

Jasad Eropa Berkisah Indonesia


Oleh: Yuslisul Pransiskasari*

Di luar masih hujan. Gemericik  air turun melengkapi hidangan sore menyambut tamu dari Banyuwangi. Warna hijau melekat pada tubuh tiap jiwa bertujuan mengunjungi mas Bandung di kediaman.  Sebentar suasana hening. Tak lekas keheningan berlangsung lama. Tuan rumah risih. Rumahnya berganti lembaga. Lembaga dengan penuh ikatan tali bertaut satu sama lain di bawah payung Kementrian Agama. Berisik kasak kusuk terwakili oleh raut wajah tak terbebas. Kelelahan dalam guyuran hujan. Santri bilik cekakakan. Tamu keheranan. Tuan rumah cengengesan, menanggalkan ketakberdosaan. 

Santri bilik merapat ke belakang. Sementara tamu memendam kekakuan di ruang depan. Aku dan temanku berbisik keheranan. Mengeja tepukan tanda hiburan dengan guyonan. Mas Bandung memberitahukan
kedatangan temannya dari Belanda. Sosok tubuh tinggi besar berparas klimis dipadu dengan kulit putih, Mas
Joss Wibisono. Telapak tangan sebelah menemui pasangannya. Kami berjabat tangan. Tangannya halus. Lebih halus dari tanganku. Perjumpaanku dengan Mas Josstak seperti perjumpaanku dengan sopir truk. Sunggingan senyum sopir truk yang tak kukenal menyiratkan kesan kehangatan dalam sapaan ketika pagi. Mas Joss berbeda. Mas Joss terkesan seperti orang asing. Kenyamanan Solo tak tergambar jelas dalam gerak tubuh dan cara bicara. Jasad Mas Joss menjelma Eropa.
Bersama Joss Wibisono (berkaos oblong hitam dan berkacamata) dan pak Agus Budi Wahyudi (memakai kemeja batik) 

Empat aqua gelas tersaji dihadapannya. Pancingan mas Fauzi menuai korban. Mas Joss bercerita panjang lebar. Tak ada pembukaan salam berupa doa dan pencitraan suasana. Obrolan berdurasi lebih dari empat jam dinikmati tanpa perlawanan. Mulai dari pers campus, kesenian, musik, sosial, budaya, filsafat dan berbagai hal lainnya. Mas Joss menikmati khutbahnya.  

Perbincangan tentang radio menyentuh lembaga pers campus. Radio dinilai memberi pengaruh dalam membentuk opini publik. Mahasiswa ikut berkontribusi dalam melengserkan Soeharto. Mahasiswa menyiarkan, menyampaikan informasi melalui radio Ampera yang berkantor di depan rumah Cendana. Mahasiswa berbantuan TNI mengepung negri memberitakan kabar terkini, menjemput Soeharto kembali pulang ke kampung halaman. Masa pemerintahannya berakhir. Soeharto turun tahta. Rakyat bersorak gembira. 

Tapi sejarah ketidaksejahteraan penduduk Indonesia tidak serta merta terselesaikan. Selaput sejarah masih menyelimuti pesona ejaan lama. Dalam buku ‘Ilmoe Pendidikan karangan Raden Poera Di Redja. Mas Joss melihat sebentar. Seorang teman mengatakan bahwa ejaan itu asing di telinga. Mas Joss nyengir. Rada menampakkan raut wajah heran. Tapi Mas Josstidak langsung menghakimi. Dia menyarankan ketika membaca ejaan lama keraskan suaramu. Tulisan dalam buku menggunakan ejaan lama sama halnya seperti orang yang berbicara. Kalimat bacaan adalah kalimat orang berbicara. Aku menyimpulkan. Terjadi pelibatan diri ketika buku berejaan lama itu dibaca. Sama ketika mas Bandung berceramah beberap hari lalu. Aku dan buku layaknya dua manusia yang sedang bercakap-cakap. Mas Joss menentang adanya ragam baku dan ragam tulisan. Namun dia tidak mengatakan alasannya. Aku menduga, mungkin karena dua ragam tersebut telah memberikan standar yang secara tersembunyi menghilangkan logat lisan dalam berbicara ketika sedang membaca. Namun negri ini memilih membakukannya. 

Ejaan menjadi permasalahan serius semenjak adanya EYD. EYD memiskinkan lafal karena ejaan lama hilang. Bermaksud memudahkan agar berterima dengan zaman sekarang namun perlahan menghabisi khasanah kebudayaan Indonesia yang kaya di masa lalu. Anakronisme terjadi secara massal. Tidak menempatkan karya pada urutan sejarah, ejaan, yang kronologis sebagaimana layaknya. Orang harus menulis sesuai dengan zaman penulisnya. Tidak perlu dirubah. Menanggalkan dimensi waktu adalah keputusan telak yang mencopot satu persatu bangunan sejarah bangsa ini. Penghilangan nama-nama pelaku sejarah di masa lampau sekaligus melumat habis kesejarahan Indonesia. Indonesia punya sejarah, sejarah yang terputus-putus. Tidak bersambung membentuk sejarah yang kuat. Sambungannya diambil penjajah.

Aku teringat ketika masih duduk di bangku SMA kelas dua.  Saat itu aku dijebloskan guruku di jurusan IPA. Aku sempat berulah mempertanyakan penghakiman guruku. Dalam lembar formulir yang diberikan di kelas satu dulu pilihan pertamaku jatuh pada IPA. Alhasil itulah yang menjadi pedoman guruku berargumen mempertahankanku untuk berada di jurusan IPA. Aku mengelak. Berusaha mengutarakan keinginanku. Aku suka sejarah. Ingin menjelajahi negri dengan imajinasi geografi. Berkutat pada teori ekonomi. Guruku diam. Beliau bersikukuh menyuruhku bertahan. Aku dirasanya mampu. Aku si pemalu. Perjuangan demi berpindah ke jurusan IPS gagal. Aku pasrah. Di awal semester ganjil aku masih berkawan dengan sejarah. Hampir setiap hari buku sejarah selalu ada dalam tas. Membacanya ketika ada waktu luang. Kesukaan itu memakan habis tak bersisa waktu satu semester. Menjadikanku makhluk asing tak berkawan orang. Aku berada di peringkat tiga puluh dari empat puluh siswa. Seketika itu, julukan bodoh akrab denganku. Aku mulai tidak nyaman. Gusar akan pelabelan. Sampai akhirnya aku memutuskan. Berhenti sampai disini untuk kesejarahan. Sejarah kuhentikan. Sampai saat ini. 

Beragam nama yang dulu sempat akrab menyapa telingaku mulai dinampakkan. Ada ingatan samar akan namanya. Noto Suroto dan Suwardi Suryaningrat. Mas Joss memberi penjelasan. Noto Suroto adalah seorang yang radikal. Pemikirannya tidak sejalan dengan pemerintah di zamannya. Dia dipecat. Namanya diberangus di tanah airnya sendiri. Mas Joss mengatakan bahwa pun Noto Suroto itu radikal, dia menjadi tokoh berpengaruh di Belanda  Tulisannya sering dikutip oleh orang-orang disana. Miris mendengar khutbah Mas Joss yang berapi-api namun tak memantik nyalaku.

Mas Joss begitu memukau. Ceritanya mengisyaratkan bahwa dia cinta Indonesia, pun telah terkontaminasi Belanda. Kentara dari berbagai penjelasannya. Rinci dan mencerahkan. Bagai nabi yang datang dikala kami kehausan. Berbagai pertanyaan dilayangkan, Mas Joss berbaik hati meladeni satu persatu dengan hujan keterangan. Beralih dari sejarah, Mas Joss berkisah tentang kesenian. Tarian, gamelan, pertunjukan, sejarah, tokoh-tokoh. Aku tak banyak merekam penjelasan Mas Joss tentang ini. Aku tertarik namun tidak memahami perkataan Mas Joss. Aku menikmati. Alunan nada piano dipadu dengan gamelan meredam keramaian dalam tepukan. Tenang. Jasad Eropa tak mampu membohongi jiwa aslinya. Indonesia terungkap dalam diri Mas Joss. 

*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan kesembilan tentang Joss Wibisono-berdarah Salatiga, tinggal di Belanda)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah