Oleh:
Yuslisul Pransiskasari*
Di
luar masih hujan. Gemericik air turun
melengkapi hidangan sore menyambut tamu dari Banyuwangi. Warna hijau melekat
pada tubuh tiap jiwa bertujuan mengunjungi mas Bandung di kediaman. Sebentar suasana hening. Tak lekas keheningan
berlangsung lama. Tuan rumah risih. Rumahnya berganti lembaga. Lembaga dengan
penuh ikatan tali bertaut satu sama lain di bawah payung Kementrian Agama.
Berisik kasak kusuk terwakili oleh raut wajah tak terbebas. Kelelahan dalam
guyuran hujan. Santri bilik cekakakan. Tamu keheranan. Tuan rumah cengengesan,
menanggalkan ketakberdosaan.
Santri
bilik merapat ke belakang. Sementara tamu memendam kekakuan di ruang depan. Aku dan
temanku berbisik keheranan. Mengeja tepukan tanda hiburan dengan guyonan. Mas Bandung
memberitahukan
kedatangan temannya dari Belanda. Sosok tubuh tinggi besar berparas klimis dipadu dengan kulit putih, Mas
Joss Wibisono. Telapak tangan sebelah menemui pasangannya. Kami berjabat tangan. Tangannya halus. Lebih halus dari tanganku. Perjumpaanku dengan Mas Josstak seperti perjumpaanku dengan sopir truk. Sunggingan senyum sopir truk yang tak kukenal menyiratkan kesan kehangatan dalam sapaan ketika pagi. Mas Joss berbeda. Mas Joss terkesan seperti orang asing. Kenyamanan Solo tak tergambar jelas dalam gerak tubuh dan cara bicara. Jasad Mas Joss menjelma Eropa.
kedatangan temannya dari Belanda. Sosok tubuh tinggi besar berparas klimis dipadu dengan kulit putih, Mas
Joss Wibisono. Telapak tangan sebelah menemui pasangannya. Kami berjabat tangan. Tangannya halus. Lebih halus dari tanganku. Perjumpaanku dengan Mas Josstak seperti perjumpaanku dengan sopir truk. Sunggingan senyum sopir truk yang tak kukenal menyiratkan kesan kehangatan dalam sapaan ketika pagi. Mas Joss berbeda. Mas Joss terkesan seperti orang asing. Kenyamanan Solo tak tergambar jelas dalam gerak tubuh dan cara bicara. Jasad Mas Joss menjelma Eropa.
Bersama Joss Wibisono (berkaos oblong hitam dan berkacamata) dan pak Agus Budi Wahyudi (memakai kemeja batik) |
Perbincangan
tentang radio menyentuh lembaga pers campus. Radio dinilai memberi pengaruh
dalam membentuk opini publik. Mahasiswa ikut berkontribusi dalam melengserkan Soeharto.
Mahasiswa menyiarkan, menyampaikan informasi melalui radio Ampera yang berkantor
di depan rumah Cendana. Mahasiswa berbantuan TNI mengepung negri memberitakan
kabar terkini, menjemput Soeharto kembali pulang ke kampung halaman. Masa
pemerintahannya berakhir. Soeharto turun tahta. Rakyat bersorak gembira.
Tapi
sejarah ketidaksejahteraan penduduk Indonesia tidak serta merta terselesaikan. Selaput
sejarah masih menyelimuti pesona ejaan lama. Dalam buku ‘Ilmoe Pendidikan karangan
Raden Poera Di Redja. Mas Joss melihat sebentar. Seorang teman mengatakan bahwa
ejaan itu asing di telinga. Mas Joss nyengir. Rada menampakkan raut wajah
heran. Tapi Mas Josstidak langsung menghakimi. Dia menyarankan ketika membaca
ejaan lama keraskan suaramu. Tulisan dalam buku menggunakan ejaan lama sama
halnya seperti orang yang berbicara. Kalimat bacaan adalah kalimat orang
berbicara. Aku menyimpulkan. Terjadi pelibatan diri ketika buku berejaan lama
itu dibaca. Sama ketika mas Bandung berceramah beberap hari lalu. Aku dan buku
layaknya dua manusia yang sedang bercakap-cakap. Mas Joss menentang adanya
ragam baku dan ragam tulisan. Namun dia tidak mengatakan alasannya. Aku
menduga, mungkin karena dua ragam tersebut telah memberikan standar yang secara
tersembunyi menghilangkan logat lisan dalam berbicara ketika sedang membaca. Namun
negri ini memilih membakukannya.
Ejaan
menjadi permasalahan serius semenjak adanya EYD. EYD memiskinkan lafal karena
ejaan lama hilang. Bermaksud memudahkan agar berterima dengan zaman sekarang
namun perlahan menghabisi khasanah kebudayaan Indonesia yang kaya di masa lalu.
Anakronisme terjadi secara massal. Tidak menempatkan karya pada urutan sejarah,
ejaan, yang kronologis sebagaimana layaknya. Orang harus menulis sesuai dengan
zaman penulisnya. Tidak perlu dirubah. Menanggalkan dimensi waktu adalah keputusan
telak yang mencopot satu persatu bangunan sejarah bangsa ini. Penghilangan
nama-nama pelaku sejarah di masa lampau sekaligus melumat habis kesejarahan
Indonesia. Indonesia punya sejarah, sejarah yang terputus-putus. Tidak
bersambung membentuk sejarah yang kuat. Sambungannya diambil penjajah.
Aku
teringat ketika masih duduk di bangku SMA kelas dua. Saat itu aku dijebloskan guruku di jurusan
IPA. Aku sempat berulah mempertanyakan penghakiman guruku. Dalam lembar
formulir yang diberikan di kelas satu dulu pilihan pertamaku jatuh pada IPA.
Alhasil itulah yang menjadi pedoman guruku berargumen mempertahankanku untuk
berada di jurusan IPA. Aku mengelak. Berusaha mengutarakan keinginanku. Aku
suka sejarah. Ingin menjelajahi negri dengan imajinasi geografi. Berkutat pada
teori ekonomi. Guruku diam. Beliau bersikukuh menyuruhku bertahan. Aku
dirasanya mampu. Aku si pemalu. Perjuangan demi berpindah ke jurusan IPS gagal.
Aku pasrah. Di awal semester ganjil aku masih berkawan dengan sejarah. Hampir
setiap hari buku sejarah selalu ada dalam tas. Membacanya ketika ada waktu
luang. Kesukaan itu memakan habis tak bersisa waktu satu semester. Menjadikanku
makhluk asing tak berkawan orang. Aku berada di peringkat tiga puluh dari empat
puluh siswa. Seketika itu, julukan bodoh akrab denganku. Aku mulai tidak
nyaman. Gusar akan pelabelan. Sampai akhirnya aku memutuskan. Berhenti sampai
disini untuk kesejarahan. Sejarah kuhentikan. Sampai saat ini.
Beragam
nama yang dulu sempat akrab menyapa telingaku mulai dinampakkan. Ada ingatan
samar akan namanya. Noto Suroto dan Suwardi Suryaningrat. Mas Joss memberi
penjelasan. Noto Suroto adalah seorang yang radikal. Pemikirannya tidak sejalan
dengan pemerintah di zamannya. Dia dipecat. Namanya diberangus di tanah airnya
sendiri. Mas Joss mengatakan bahwa pun Noto Suroto itu radikal, dia menjadi
tokoh berpengaruh di Belanda Tulisannya
sering dikutip oleh orang-orang disana. Miris mendengar khutbah Mas Joss yang
berapi-api namun tak memantik nyalaku.
Mas
Joss begitu memukau. Ceritanya mengisyaratkan bahwa dia cinta Indonesia, pun
telah terkontaminasi Belanda. Kentara dari berbagai penjelasannya. Rinci dan
mencerahkan. Bagai nabi yang datang dikala kami kehausan. Berbagai pertanyaan
dilayangkan, Mas Joss berbaik hati meladeni satu persatu dengan hujan
keterangan. Beralih dari sejarah, Mas Joss berkisah tentang kesenian. Tarian, gamelan,
pertunjukan, sejarah, tokoh-tokoh. Aku tak banyak merekam penjelasan Mas Joss
tentang ini. Aku tertarik namun tidak memahami perkataan Mas Joss. Aku
menikmati. Alunan nada piano dipadu dengan gamelan meredam keramaian dalam
tepukan. Tenang. Jasad Eropa tak mampu membohongi jiwa aslinya. Indonesia
terungkap dalam diri Mas Joss.
*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan kesembilan tentang Joss Wibisono-berdarah Salatiga, tinggal di Belanda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah