Jumat, 07 Maret 2014

Seniman, Profesi Setengah Dewa

Oleh: Yuslisul Pransiskasari*

            Seniman ikut berperan untuk menciptakan beragam imajinasi bagi pelanggan, penikmat, siapapun. Melahirkan keindahan, menciprati daya merasa adalah misi seniman. Mereka juga menggarap ukiran, polesan lukisan dalam kanvas, liukan tarian di panggung pertunjukan, irama tembang, rangkaian tulisan. Proses kreatif seniman menjadi kegiatan ritual, melibatkan proses panjang, berkutat dalam seabrek imajinasi, menseleksi serta menelurkan buah karya. Proses kreatif yang komplit. Penikmat karya akan memuji, mencaci, heran, mlongo, serta berbagai ekspresi lainnya yang tak sanggup dijelaskan. Seniman mencipta ungkapan perasaan manusia.
            Seniman sering lupa, dia tidak bekerja sendirian. Sehingga, dia tidak bisa membuat klaim bahwa
karyanya murni kerja keras. Karya yang dihasilkan dengan menempuh proses pengolahan yang tak sebentar membuat karya mereka memiliki nilai jual dan nilai estetika. Pelibatan tokoh pemantik imajinasi, media karya, pembuat teh dan camilan, tukang listrik, kipas angin, sinar matahari, tukang ledeng, pembersih toilet, kecelakaan, perang, ibu menggendong anak sering dilupakan. Banyak hal terlibat dalam kegiatan mencipta karya. Seniman membantu menjadi perantara  sekaligus terlibat dalam posisi menerima bantuan. Posisi yang menguntungkan serta memberi keuntungan, simbiosi mutualisme.
            Ternyata, saya lupa satu hal. Seniman suka menggelar pameran. Sederhananya, seniman suka pamer. Pamer karya, pamer nama, pamer penghasilan, pamer jumlah pelanggan, pamer jumlah karya yang sudah dihasilkan. Apakah mereka juga pamer pesan dalam karya yang telah dihasilkan? Menggelar bedah karya dan membincangkan dengan siapa yang berminat untuk memberi masukan. Dalam pameran, ada pelanggan atau penikmat seni bertitel pengunjung, datang dan menginginkan karya seninya. Karya seni menjelma lembaran nominal rupiah, cek dan angka dalam buku tabungan. Usai sudah tugas seniman bila seniman adalah sebuah profesi. Profesi berkesenian, menghasilkan uang, membelanjakan sesuai dengan kebutuhan. Karya yang telah dihasilkan berkontribusi banyak dalam memenuhi kebutuhan.
            Kegiatan berkesenian yang merupakan ritual harian memiliki nilai tak terbatas. Totok (Koran Tempo, 6 Februari 2013) menyebutnya sebagai manusia bukan setengah dewa. Artinya, seniman memiliki posisi penting pada wilayah religius. Sisi keagamaan seniman sering dipertanyakan. Bukan karena mereka tidak beragama namun lebih pada keseharian karya mereka yang sering dimaknai sebagai bentuk ketakberagamaan. Bukan sekadar soal profesi dan tidak lebih dari dewa. Seniman berkesempatan menampilkan pesan berupa anjuran, kritik, harapan, sindiran untuk siapapun. Pesan yang disampaikan memiliki tujuan berbeda dari jenis kesenian yang berbeda pula.
Seniman juga manusia biasa, memiliki silsilah keluarga. Butuh uang untuk menghidupi keluarga, menukarnya dengan kebutuhan yang diperlukan, berpindah tempat demi sebuah keinginan. Artinya, tidak melulu berkaitan dengan sifat dan kelakuan. Lebih pada hal prinsipil. Pada akhirnya, seniman tidak menjual dewa dalam karyanya sebagai tujuan profesi. Kesadaran mengakui. Seniman membutuhkannya. Tulisan ini akhirnya menemui tanda titiknya.

*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Ketujuh tentang Tanggapan untuk tulisan di Koran Tempo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah