Senin, 07 April 2014

Bolpoin Berstatus Sosial


Oleh: Yuslisul Pransiskasari
Mahasiswa Tadris Matematika IAIN Tulungagung

Bolpoin menjadi benda tak asing dalam dunia tulis menulis. Kepemilikan bolpoin tidak hanya berada pada kalangan akademisi pendidikan, pejabat, dan bergerak di bidang formal. Bolpoin dimiliki untuk menunjang kebutuhan setiap manusia. Kernet bus, petugas simpan pinjam, pegawai bank, pedagang sayur, tukang bubur, pengusaha toko dan lain-lain. Mereka menggunakan bolpoin untuk melakukan kerja harian. 

Ketika masih SD kelas dua guruku melarang siswanya untuk menggunakan bolpoin. Perkara larangan bukan terletak pada jenjang kelas. Namun jenjang kelas dua dinilai belum terampil menggunakan bolpoin. Berbagai alasan dilayangkan untuk membungkam sikap siswa agar tidak menggunakan bolpoin saat itu. Alasan lain
tidak rapi. Siswa dianggap kurang cakap menggunakan bolpoin karena akan banyak coretan disana sini. Sedangkan siswa SD kelas dua masih sering menggunakan penghapus ketika bekerja dengan pensil. Keterampilan menggunakan bolpoin tidak pernah diajarkan saat sekolah.

Dalam film bollywood berjudul 3 idiot, penemuan bolpoin menjadi kejadian penting dalam sejarah. Penemuan bolpoin dibuat untuk menggantikan pensil. Penelitian itu ada maksud ketika dibawa ke angkasa akan hancur. Kehancuran pensil menjadi debu yang bisa membutakan mata. Film dari India ini memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan. 

Membicarakan bolpoin tidak melulu mengurusi permasalahan rangkaian kata dalam membentuk suatu kalimat. Tapi bolpoin adalah alat untuk menorehkan noda berupa tinta agar membekas lama. Sejarah Indonesia tak pernah luput dari bolpoin. Penandatanganan kesepakatan selalu menggunakan bolpoin. Bahkan di kalangan pejabat pemerintahan penggunaan bolpoin tidak main-main. Mereka menggunakan merk bolpoin ternama. Bolpoin berlabel harga melangit hanya bisa dinikmati oleh kalangan pejabat sebagai ajang gengsi di kalangan priyayi.

Bolpoin menemui masa tren ketika menjadi konsumsi kolektif. Konsumsi kolektif terjadi di kalangan pesantren. Tradisi pesantren memberikan kesadaran bersama bahwa fungsi bolpoin sangat dibutuhkan. Selain untuk menulis, tanda tangan, ukuran keruncingan ujung bolpoin mempengaruhi kejelasan makna atau dalam istilah pesantren maknani kitab gundul. Semakin mahal dan bermerk suatu bolpoin, semakin jelas, bagus dan enak digunakan. Dalam kalangan kyai dan santri bolpoin mengalami ketahanan. Keyakinan akan tinta yang tidak mudah luntur tertuju pada sebuah benda dinamakan pen tutul. Selain itu, beberapa guru di pesantren memberlakukan santrinya menggunakan bolpoin khusus untuk maknani. Bolpoin dengan kriteria runcing di ujungnya mempengaruhi kualitas, ukuran dan kerapian tulisan. 

Bolpoin kian hari kian mengalami perluasan fungsi dan penyempitan tujuan. Munculnya berbagai merk dan ukuran ujung bolpoin mempengaruhi tingkat ketebalan dan ketahanlamaan tulisan. Tidak hanya itu, bolpoin menjadi konsumsi pribadi dari berbagai versi dengan jumlah banyak. Seorang teman kuliah pernah berkisah tentang dirinya dan bolpoin. Bolpoin dibedakan berdasarkan fungsinya. Bolpoin berujung runcing untuk menuliskan judul, bolpoin menyerupai spidol digunakan untuk memberi keterangan penting, dan bolpoin basa digunakan untuk menulis catatan sementara.  

Berbeda pengguna berbeda perlakuan. Begitu juga fungsi bolpoin. Bolpoin di kalangan wartawan digunakan sebagai media mencatat data ketika wawancara, membuat reportase, menuliskan berita untuk dikabarkan kepada seluruh masyarakat. Bolpoin di kalangan guru digunakan untuk menuliskan laporan, mengisi daftar kehadiran, mencatat pembicaraan ketika workshop, dan penanda tanganan gaji. 

Lain soal dengan DPR. Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan bolpoin untuk menandatangani proyek. Tidak sedikit  yang menggunakannya untuk mendaftarkan diri menjadi calon legislative di tahun berikutnya. DPR tidak akan bisa hidup tanpa bolpoin. Nasib perjalanan karir DPR berada di tangan bolpoin. Bolpoin menjadi barang mewah yang harus ada tiap waktu. Kebijakan terkait tanda tanganpun ditentukan oleh warna tinta. Warna biru menjadi pilihan untuk menentukan kebijakan tanda tangan. 

Produksi bolpoin tidak akan berhenti karena senantiasa digunakan dalam setiap zaman. Berbagai merk muncul dalam berbagai ukuran, warna, kualitas, harga yang berbeda. Sekali menorehkan coretan menggunakan bolpoin, semenjak itulah torehan menjadi tanggung jawab moral. Hanya bisa dihapus dengan menggunakan penghapus bolpoin. Itupun menyisakan bekas hingga merobek kertas. Torehan bolpoin hanya bisa ditimbun dengan tipe-X. Pengibaratan kondisi bolpoin terjadi pada DPR. Sekali melakukan kesalahan, tidak akan terhapuskan pada benak masyarakat. Pembersihan nama baik bisa dilakukan dengan banyak melakukan hal-hal baik. Itupun membutuhkan waktu yang sangat lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah