Rabu, 05 Maret 2014

Kompleksitas Waktu Guru

Oleh: Yuslisul Pransiskasari*

Mengingat Minggu teringat ujian CPNS yang serentak diselenggarakan di Jawa Timur November tahun lalu. Rating calon guru menuai angka yang menggiurkan tiap tahun. Bersaing dengan ratusan bahkan ribuan orang menginginkan menduduki bangku PNS yang terjual melalui banyak tawaran. Guru sebagai profesi merupakan tawaran menggiurkan karena semakin mendapat perhatian intim dari pemerintah pusat. Tak heran berjubel orang bersaing untuk memperebutkan bangku guru dalam institusi pendidikan formal.

Persaingan calon guru untuk menembus institusi pendidikan formal cukup memberi gambaran umum rminat masyarakat terhadap profesi guru. Berbicara soal profesi sama halnya menarik pandangan umum untuk berpikir tentang materi. Tetek-bengek terkait suguhan gaji, lama kerja, dan rutinitas telah menjadi luapan aktivitas dan santapan sehari-hari. Berapapun nilai kenikmatan akan bisa dirasai manakala ada kejelasan nominal rupiah yang mampu mewakili gerak tubuh manusia tiap waktu, bergelut perihal pekerja pendidikan.

Benturan keras terjadi ketika aktivitas bekerja masih memiliki tindak lanjutan dan bukan sebagai aktivitas jeda. Seperti halnya guru. Guru yang notabene bekerja dalam rentang waktu enam hari yang terhitung efektif menandakan bahwa separuh perjalanan kesehariannya diabdikan untuk memberi secercah harapan tentang ilmu yang dipunyainya. Penyesuaian dilakukan berdasarkan acuan perangkat keguruan dari pemerintah pusat. Dalam lagu Hymne Guru, Sartono memberi pujian bagi guru. Pada lirik “namamu akan selalu hidup dalam sanubariku” menekankan bahwa guru lewat profesinya menyemai nama dalam doa murid-murid. Begitulah guru. Loncatan informasi yang seringkali hanya berputar-putar pada persoalan ruang kelas, buku diktat, tugas-tugas, serta ujian yang melulu hal teknis tidak serta merta membuat dirinya terlepas dari tugas pribadi.

Guru tak hanya menjadi pengajar di institusi pendidikan formal namun wilayah guru lebih luas. Guru mengurusi tentang tugas keguruannya, organisasi keguruan, membawa tugas-tugas sekolah yang belum terselesaikan. Guru memiliki tugas yang kompleks. Di luar tugas kompleksnya sebagai guru, mereka masih harus bertanggungjawab atas tugas-tugas yang lain. Tugas pribadi menjadi kebutuhan sekunder yang dilirik dalam selang waktu sehari semalam dari sisa waktu sepekan yang dimiliki guru. Hari Minggu menjadi pilihan yang tepat bagi guru untuk menebus dosa kecil pada pribadi untuk turut gotong royong berkontribusi meringankan beban dalam keluarga. Guru sebagai bagian dari keluarga berkewajiban mengurusi rumah, menjamu keluarga dengan sajian masakan istimewa di hari yang istimewa, merapikan barang-barang yang berserakan, mengelap jendela, memandikan kendaraan, mencuci baju, mencabuti rumput, menyiram bunga, memangkat ilalang. Segala hal tentang kebersihan rumah dikerjakan untuk mengembalikan rasa nyaman. Itulah guru dalam rumah. Membersihkan dan melakukan aktivitas sebagai teladan awal dalam personal.

Teladan personal dapat memberi basis keyakinan seseorang untuk menunjukkan aktivitas rutin yang berlangsung secara terus menerus. Guru sebagai bagian dari keluarga membawahi dirinya menjadi pelayan rumah tidak mengurangi kehormatan guru sebagai teladan muridnya. Guru sebagai panutan setiap orang dengan titik tekan yang ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantoro sebagai insan yang digugu lan ditiru.

Guru memiliki jam terbang yang fantastis terkait sisa waktu mereka. Tak berbeda jauh ketika guru melepas atribut keguruannya di hari Minggu dan berbaur dengan lingkungan membawa nama pribadi. Guru di hari Minggu berbeda dengan guru di hari Senin sampai Sabtu. Guru di hari Minggu lebih istimewa. Atribut keguruan yang tidak dikenakan secara formal menjadikan guru tetap disegani dalam keberlangsungan hidup bersama lingkungannya. Bukan karena guru adalah PNS yang taat aturan negara untuk mengabdi mengajarkan ilmu yang dimiliki. Terlebih karena guru adalah insan yang mampu menjadi teladan bagi sekitarnya.

Gelar guru tidak hilang begitu saja. Keteladanan guru mampu memikat setiap orang di sekitarnya. Keteladanan seorang guru tidak memandang jam terbang ketika mengajar sampai ihwal gaji yang tersimpan rapi dalam amplop bulanan. Toeti Adhitama dan Debra Yatim melalui pernyataan Bakri: “Hendaknya keteladanan jangan dipakai sebagai suatu tujuan, tetapi suatu sarana supaya kita terdorong dan mendapatkan motivasi untuk dapat menningkatkan tugas-tugas kita; sebab kalau keteladanan ini sebagai tujuan, sesudah kita mendapat hadiah macam-macam, begitu pulang menjadi guru, biasa kembali.”


Perihal tentang guru telah mengakar kuat dalam lakon hidup seseorang. Terlebih ketika aktivitas Minggu berlangsung. Bangun pagi, bersegera ke pasar, berbelanja sayuran, menukarnya dengan lembaran rupiah, memasaknya untuk santapan pagi keluarga sebagai pemebuhan gizi merupakan peristiwa penting yang tidak boleh terlewatkan. Istri mengurusi suami, suami menafkahi istri dan mereka bersama-sama mendidik anak-anak mereka layaknya mengajari murid-muridnya di sekolah, bertegur sapa dengan orang-orang yang mengenalnya sebagai guru tidak akan mengganggu aktivitas di hari Minggu untuk berubah menjadi manusia bukan guru namun tetap pada tugas mendidik layaknya jadi guru. 

*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Kedua tentang Minggu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah