Oleh:
Yuslisul Pransiskasari*
Mengingat
Minggu teringat ujian CPNS yang serentak diselenggarakan di Jawa Timur November
tahun lalu. Rating calon guru menuai angka yang menggiurkan tiap tahun. Bersaing
dengan ratusan bahkan ribuan orang menginginkan menduduki bangku PNS yang
terjual melalui banyak tawaran. Guru sebagai profesi merupakan tawaran
menggiurkan karena semakin mendapat perhatian intim dari pemerintah pusat. Tak
heran berjubel orang bersaing untuk memperebutkan bangku guru dalam institusi pendidikan
formal.
Persaingan
calon guru untuk menembus institusi pendidikan formal cukup memberi gambaran
umum rminat masyarakat terhadap profesi guru. Berbicara soal profesi sama
halnya menarik pandangan umum untuk berpikir tentang materi. Tetek-bengek terkait
suguhan gaji, lama kerja, dan rutinitas telah menjadi luapan aktivitas dan
santapan sehari-hari. Berapapun nilai kenikmatan akan bisa dirasai manakala ada
kejelasan nominal rupiah yang mampu mewakili gerak tubuh manusia tiap waktu, bergelut
perihal pekerja pendidikan.
Benturan
keras terjadi ketika aktivitas bekerja masih memiliki tindak lanjutan dan bukan
sebagai aktivitas jeda. Seperti halnya guru. Guru yang notabene bekerja dalam rentang waktu enam hari yang terhitung
efektif menandakan bahwa separuh perjalanan kesehariannya diabdikan untuk
memberi secercah harapan tentang ilmu yang dipunyainya. Penyesuaian dilakukan
berdasarkan acuan perangkat keguruan dari pemerintah pusat. Dalam lagu Hymne Guru, Sartono memberi pujian bagi
guru. Pada lirik “namamu akan selalu
hidup dalam sanubariku” menekankan bahwa guru lewat profesinya menyemai
nama dalam doa murid-murid. Begitulah guru. Loncatan informasi yang seringkali
hanya berputar-putar pada persoalan ruang kelas, buku diktat, tugas-tugas,
serta ujian yang melulu hal teknis tidak serta merta membuat dirinya terlepas
dari tugas pribadi.
Guru
tak hanya menjadi pengajar di institusi pendidikan formal namun wilayah guru
lebih luas. Guru mengurusi tentang tugas keguruannya, organisasi keguruan,
membawa tugas-tugas sekolah yang belum terselesaikan. Guru memiliki tugas yang
kompleks. Di luar tugas kompleksnya sebagai guru, mereka masih harus
bertanggungjawab atas tugas-tugas yang lain. Tugas pribadi menjadi kebutuhan
sekunder yang dilirik dalam selang waktu sehari semalam dari sisa waktu sepekan
yang dimiliki guru. Hari Minggu menjadi pilihan yang tepat bagi guru untuk menebus
dosa kecil pada pribadi untuk turut gotong royong berkontribusi meringankan beban
dalam keluarga. Guru sebagai bagian dari keluarga berkewajiban mengurusi rumah,
menjamu keluarga dengan sajian masakan istimewa di hari yang istimewa,
merapikan barang-barang yang berserakan, mengelap jendela, memandikan
kendaraan, mencuci baju, mencabuti rumput, menyiram bunga, memangkat ilalang.
Segala hal tentang kebersihan rumah dikerjakan untuk mengembalikan rasa nyaman.
Itulah guru dalam rumah. Membersihkan dan melakukan aktivitas sebagai teladan
awal dalam personal.
Teladan
personal dapat memberi basis keyakinan seseorang untuk menunjukkan aktivitas
rutin yang berlangsung secara terus menerus. Guru sebagai bagian dari keluarga
membawahi dirinya menjadi pelayan rumah tidak mengurangi kehormatan guru
sebagai teladan muridnya. Guru sebagai panutan setiap orang dengan titik tekan
yang ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantoro sebagai insan yang digugu lan ditiru.
Guru
memiliki jam terbang yang fantastis terkait sisa waktu mereka. Tak berbeda jauh
ketika guru melepas atribut keguruannya di hari Minggu dan berbaur dengan
lingkungan membawa nama pribadi. Guru di hari Minggu berbeda dengan guru di
hari Senin sampai Sabtu. Guru di hari Minggu lebih istimewa. Atribut keguruan
yang tidak dikenakan secara formal menjadikan guru tetap disegani dalam
keberlangsungan hidup bersama lingkungannya. Bukan karena guru adalah PNS yang taat
aturan negara untuk mengabdi mengajarkan ilmu yang dimiliki. Terlebih karena
guru adalah insan yang mampu menjadi teladan bagi sekitarnya.
Gelar
guru tidak hilang begitu saja. Keteladanan guru mampu memikat setiap orang di
sekitarnya. Keteladanan seorang guru tidak memandang jam terbang ketika
mengajar sampai ihwal gaji yang tersimpan rapi dalam amplop bulanan. Toeti
Adhitama dan Debra Yatim melalui pernyataan Bakri: “Hendaknya keteladanan
jangan dipakai sebagai suatu tujuan, tetapi suatu sarana supaya kita terdorong
dan mendapatkan motivasi untuk dapat menningkatkan tugas-tugas kita; sebab
kalau keteladanan ini sebagai tujuan, sesudah kita mendapat hadiah macam-macam,
begitu pulang menjadi guru, biasa kembali.”
Perihal
tentang guru telah mengakar kuat dalam lakon hidup seseorang. Terlebih ketika
aktivitas Minggu berlangsung. Bangun pagi, bersegera ke pasar, berbelanja
sayuran, menukarnya dengan lembaran rupiah, memasaknya untuk santapan pagi
keluarga sebagai pemebuhan gizi merupakan peristiwa penting yang tidak boleh
terlewatkan. Istri mengurusi suami, suami menafkahi istri dan mereka
bersama-sama mendidik anak-anak mereka layaknya mengajari murid-muridnya di
sekolah, bertegur sapa dengan orang-orang yang mengenalnya sebagai guru tidak
akan mengganggu aktivitas di hari Minggu untuk berubah menjadi manusia bukan
guru namun tetap pada tugas mendidik layaknya jadi guru.
*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Kedua tentang Minggu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah