Oleh:
Yuslisul Pransiskasari*
Malam yang semakin dingin ini tak
lantas membuatku berhenti untuk terus menyelesaikan tulisan hari ini. Sajian
tulisan Dewi Lestari memang menggairahkan untuk dibaca. Terlarut dalam isi
tulisannya adalah hal yang biasa. Sudah beberapa buku karyanya yang
diterbitkan. Beberapa diantaranya masih menjadi konsumsiku.
Kopi selalu menjadi teman malam yang
dingin. Kehadirannya membawa sensasi berbeda bagi beberapa orang penikmatnya.
Kopi. Rasa pahitnya mengantarkan pada dahaga hidup yang tak gentar untuk
dijalani. Pilihan manisnya memanjakan lidah penikmat pula. Hidup tak selalu
soal pahit manis. Kopipun menjelma menjadi kehidupan.
Dee, sebutan singkat untuk Dewi
Lestari, hidup bersama kopi racikannya. Mengotak-atik susunan kata, menambalnya
dengan semen keindahan dan jadilah Filosofi Kopi di tahun 1996. Satu anak Dee
lahir menambah anak yang terlahir sebelumnya. Koleksi buku pembaca bertambah
pula. Awal pembukaan cerpen
Dee menarik untuk jadi bahan perbincangan.
Melemparnya di sudut perkotaan. Aku tertarik mengutip kalimat narasi tentang
perjalanan Ben : “… Dia berkonsultasi
dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma, Paris, Amsterdam, London, New York,
bahkan Moskow.”
Ada
krisis kepercayaan pada diri Dee melalui tokohnya Ben ketika berani memutuskan
untuk berkonsultasi dengan pakar-pakar dari Luar Negri. Ben tidak percaya diri untuk
mengakui racikan negrinya sendiri. Putusan Ben memang telak. Mau-maunya dia
nekad pergi keliling dunia demi menemukan kopi racikannya. Ben tidak main-main.
Ada keseriusan yang dibarengi dengan ambisi kuat. Ben berangkat.
Ambisi
kuatnya membawa Ben pada situasi nekad yang luar biasa. Ben tidak
mempertimbangkan kemampuan bahasanya yang pas-pasan. Ben bersikeras menuai
hasil dari keluar masuk dapur saji kaliber kakap. Ben keras kepala.
Ben
punya kedai dengan wajah kegirangan tanpa henti. Dia terlalu menikmati hasil
jerih payahnya blusukan ke dapur
orang. Menciptakan menu-menu bersama untaian kalimat obralan dan menjadikan
dirinya sebagai psikolog amatiran sok filosofis. Ben banyak dipuja orang.
Banyak orang datang ke kedainya untuk meminum kopi atau sekedar mendengar
khutbahnya. Banyak orang tersihir. Ben terbang, melayang. Ben mempertontonkan
dirinya membuat kopi. Ben mulai berlebih-lebihan dengan aksinya. Ben mulai
menekuni sifat pamer. Dia menikmatinya. Kedai Ben menjadi semacam tempat
konsultasi bernafaskan kopi. Ben berbangga.
Pada
puncaknya, ambisi Ben tertantang untuk membuat resep baru paling sempurna.
Resep baru itu bernominal 50 juta. Ben tergiur. Imajinasinya sudah melampaui
batas pikirnya. Dia berandai jadi kaya raya. Ben mulai belajar serakah. Ambisi
kuatnya mengantarkan dirinya untuk terus mencari kopi terenak. Beberapa
pangunjung datang silih berganti, beberapa dikenali beberapa tidak. Salah satu
pengunjung memesan kopi dengan komentar biasa. Kopi buatan Ben yang paling enak
di kedainya. Jody tak habis pikir. Rasa haus akan informasi membanjiri
pikirannya.
Perjalanan
Ben berikutnya bersetting pedesaan. “Tepat
di penghujung jalan, sebuah warung reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil,
ternaungi pepohonan besar. Di halamannya terdapat tampi-tampi berisi biji kopi
yang baru dipetik. Di sekitar gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan
bunga-bunga putih yang semarak bermunculan di sana-sini. Aku baru tersadar,
seluruh bukit kecil itu ditanami kopi.”
Ada
aktivitas yang menghidupi desa itu. Warung yang hidup diatas perbukitan
mempekerjakan orang. Butuh banyak orang untuk mengurusi pellbagai hal tentang
warung, gubuk, bukit kecil, biji kopi, tanaman perdu, bunga-bunga putih.
Penduduk desa hidup dalam hiruk pikuk tanaman kopi. Khas suasana desa. Jelas. satu
lagi tokoh. Pak Seno, pemilik warung. Karakternya jujur, khas warga desa.
Barista terkenal
di Jakarta, Ben, berobsesi mengetahuinya. Daftar harga yang didengar Ben dari penjual
membuatnya tercekat. Suguhan kopi pak Seno dengan pengantarnya kental akan karakter
pedesaan yang mengaliri tubuhnya. Murah sekali. Kopi yang istimewa dengan harga
murah sekali. Ben angkuh kembali pulang. Jody kelimpungan. Penebusan kesalahan
Jody: pak Seno.
Membaca
kumpulan cerpen Dee yang satu ini membuatku terkesima. Penuturannya lembut dan
tak terkesan menampilkan batas. Batas antara konflik yang sedang dibangunnya
antara Ben, Jody, pria penantang, pelanggan, pak Seno. Dee selalu berhasil
membuat rangkaian kalimat mempesona. Membuat pembaca kadang merasa dimanjakan,
kadang bingung, kadang menikmati. Ada kesan berbeda. Selalu berbeda dan tak
mudah ditebak. Itu sensasinya. Sensasi dalam Kopi.
*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Keempat tentang Teks dan Kota)
*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Keempat tentang Teks dan Kota)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah