Jumat, 07 Maret 2014

Sensasi dalam Kopi

Oleh: Yuslisul Pransiskasari*

            Malam yang semakin dingin ini tak lantas membuatku berhenti untuk terus menyelesaikan tulisan hari ini. Sajian tulisan Dewi Lestari memang menggairahkan untuk dibaca. Terlarut dalam isi tulisannya adalah hal yang biasa. Sudah beberapa buku karyanya yang diterbitkan. Beberapa diantaranya masih menjadi konsumsiku.
            Kopi selalu menjadi teman malam yang dingin. Kehadirannya membawa sensasi berbeda bagi beberapa orang penikmatnya. Kopi. Rasa pahitnya mengantarkan pada dahaga hidup yang tak gentar untuk dijalani. Pilihan manisnya memanjakan lidah penikmat pula. Hidup tak selalu soal pahit manis. Kopipun menjelma menjadi kehidupan.
            Dee, sebutan singkat untuk Dewi Lestari, hidup bersama kopi racikannya. Mengotak-atik susunan kata, menambalnya dengan semen keindahan dan jadilah Filosofi Kopi di tahun 1996. Satu anak Dee lahir menambah anak yang terlahir sebelumnya. Koleksi buku pembaca bertambah pula. Awal pembukaan cerpen
Dee menarik untuk jadi bahan perbincangan. Melemparnya di sudut perkotaan. Aku tertarik mengutip kalimat narasi tentang perjalanan Ben : “… Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma, Paris, Amsterdam, London, New York, bahkan Moskow.”
Ada krisis kepercayaan pada diri Dee melalui tokohnya Ben ketika berani memutuskan untuk berkonsultasi dengan pakar-pakar dari Luar Negri. Ben tidak percaya diri untuk mengakui racikan negrinya sendiri. Putusan Ben memang telak. Mau-maunya dia nekad pergi keliling dunia demi menemukan kopi racikannya. Ben tidak main-main. Ada keseriusan yang dibarengi dengan ambisi kuat. Ben berangkat.
Ambisi kuatnya membawa Ben pada situasi nekad yang luar biasa. Ben tidak mempertimbangkan kemampuan bahasanya yang pas-pasan. Ben bersikeras menuai hasil dari keluar masuk dapur saji kaliber kakap. Ben keras kepala.
Ben punya kedai dengan wajah kegirangan tanpa henti. Dia terlalu menikmati hasil jerih payahnya blusukan ke dapur orang. Menciptakan menu-menu bersama untaian kalimat obralan dan menjadikan dirinya sebagai psikolog amatiran sok filosofis. Ben banyak dipuja orang. Banyak orang datang ke kedainya untuk meminum kopi atau sekedar mendengar khutbahnya. Banyak orang tersihir. Ben terbang, melayang. Ben mempertontonkan dirinya membuat kopi. Ben mulai berlebih-lebihan dengan aksinya. Ben mulai menekuni sifat pamer. Dia menikmatinya. Kedai Ben menjadi semacam tempat konsultasi bernafaskan kopi. Ben berbangga.
Pada puncaknya, ambisi Ben tertantang untuk membuat resep baru paling sempurna. Resep baru itu bernominal 50 juta. Ben tergiur. Imajinasinya sudah melampaui batas pikirnya. Dia berandai jadi kaya raya. Ben mulai belajar serakah. Ambisi kuatnya mengantarkan dirinya untuk terus mencari kopi terenak. Beberapa pangunjung datang silih berganti, beberapa dikenali beberapa tidak. Salah satu pengunjung memesan kopi dengan komentar biasa. Kopi buatan Ben yang paling enak di kedainya. Jody tak habis pikir. Rasa haus akan informasi membanjiri pikirannya.
Perjalanan Ben berikutnya bersetting pedesaan. “Tepat di penghujung jalan, sebuah warung reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil, ternaungi pepohonan besar. Di halamannya terdapat tampi-tampi berisi biji kopi yang baru dipetik. Di sekitar gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan bunga-bunga putih yang semarak bermunculan di sana-sini. Aku baru tersadar, seluruh bukit kecil itu ditanami kopi.”
Ada aktivitas yang menghidupi desa itu. Warung yang hidup diatas perbukitan mempekerjakan orang. Butuh banyak orang untuk mengurusi pellbagai hal tentang warung, gubuk, bukit kecil, biji kopi, tanaman perdu, bunga-bunga putih. Penduduk desa hidup dalam hiruk pikuk tanaman kopi. Khas suasana desa. Jelas. satu lagi tokoh. Pak Seno, pemilik warung. Karakternya jujur, khas warga desa.
Barista terkenal di Jakarta, Ben, berobsesi mengetahuinya. Daftar harga yang didengar Ben dari penjual membuatnya tercekat. Suguhan kopi pak Seno dengan pengantarnya kental akan karakter pedesaan yang mengaliri tubuhnya. Murah sekali. Kopi yang istimewa dengan harga murah sekali. Ben angkuh kembali pulang. Jody kelimpungan. Penebusan kesalahan Jody: pak Seno.

Membaca kumpulan cerpen Dee yang satu ini membuatku terkesima. Penuturannya lembut dan tak terkesan menampilkan batas. Batas antara konflik yang sedang dibangunnya antara Ben, Jody, pria penantang, pelanggan, pak Seno. Dee selalu berhasil membuat rangkaian kalimat mempesona. Membuat pembaca kadang merasa dimanjakan, kadang bingung, kadang menikmati. Ada kesan berbeda. Selalu berbeda dan tak mudah ditebak. Itu sensasinya. Sensasi dalam Kopi. 

*peserta Residensi, Sinau 14 hari di Bilik (Tulisan Keempat tentang Teks dan Kota)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah