Oleh: Yuslisul
Pransiskasari
Perasaan bersalah atas janji diri
mulai menuai. Menghantuiku, merampas kepercayaan. Sebiji kata tak lagi hadir
menjadi kegiatan harian. Aku bersalah. Aku masih belajar. Tapi tak kunjung
berlangsung kembali. Padam sementara. Aku mencari nyala diri, tapi belum
berhasil. Berkali-kali mas Bandung kuusik dengan sms tak penting. Beruntung
masih dibalas. Namun bukan jawaban. Dan temuan itu berlari pada seorang teman.
Iri ini mulai panas. Menyulut api perasaan yang lain. Menyalakan janji yang
semula padam. Meminta sang induk membuahi telurnya dalam kendali suhu. Beranak
pinak menghasilkan keturunan. Membentuk ikatan keluarga bernama saudara dan
orang tua. Terus begitu. Kemudian nyala ini meminta penjagaan ketat layaknya
sang prajurit pengawas kerajaan. Jari-jari mulai melemas, bermain tuts keyboard
ASUS merahku. Terlahir buah hati dari jeda berjarak sepuluh hari. Kisah
tertuang dalam lembaran selanjutnya.
Bermula dari buku. Perjalanan
puluh tahun datang silih berganti. Mengendarai kuda tanpa kendali. Keluar
masuk wilayah tanpa permisi dan disilakan. Berjajar sembarang nama toko buku: loakan, toga mas, gramedia, Oscar, perdana, pratama, alif, perpustakaan, bazar buku. Mulai tak asing lagi sampai aku usia dewasa. Majalah Bobo, Mentari, Annida, KaWanku, Joyoboyo, Penjebar Semangat pernah menjadi bagian yang menyenangkan. Perjalanan antara berada di rumah dengan hiruk pikuk kota mengalir bersama kunjungan di rumah nenek, mengikuti. Tak mau begitu saja ditinggalkan. Aku masih berlalu bersama kendali saku di bawah ketiak orang tuaku.
masuk wilayah tanpa permisi dan disilakan. Berjajar sembarang nama toko buku: loakan, toga mas, gramedia, Oscar, perdana, pratama, alif, perpustakaan, bazar buku. Mulai tak asing lagi sampai aku usia dewasa. Majalah Bobo, Mentari, Annida, KaWanku, Joyoboyo, Penjebar Semangat pernah menjadi bagian yang menyenangkan. Perjalanan antara berada di rumah dengan hiruk pikuk kota mengalir bersama kunjungan di rumah nenek, mengikuti. Tak mau begitu saja ditinggalkan. Aku masih berlalu bersama kendali saku di bawah ketiak orang tuaku.
Kami tidak menyadari. Tinggal bersama
buku sejak kecil adalah bagian dari hidup. Buku tak bernyawa. Tapi dia bergerak.
Huruf-huruf tertata membentuk kata. Kata terangkai dalam kalimat: bermakna. Buku
hidup dalam rak-rak di rumah. Berbaris rapi. Tak lagi ada sentuhan. Pertanda
nasib buku malang. Ada pertentangan ketika nasib buku beradu dengan keinginan.
Jarang ada buku-buku baru dengan dalih buku lama masih layak, sabda ibuku.
Harapan gelontoran jatah majalah Bobo perminggu tetap bertahan. Namun sayang.
Minim. Harapan berubah rengekan, tak jarang tangisan. Masa kecil yang makin
kurindukan.
Ingatanku mengembara waktu,
menyusuri lorong sempit bernama kenangan masa lalu. Rubrik Apa kabar Bo?
menjadi bacaan pertama. terhenti pada surat pembaca. Aku tak pernah berhasrat
untuk mengirim surat pada Bobo tapi aku sering berkeinginan untuk mencatat
alamat penulis surat. Mencatat alamat di beberapa majalah dan mengirimi mereka
dengan surat perkenalan. Membeli kartu pos dengan beragam pilihan gambar,
membeli amplop, menempeli dengan perangko adalah ritual berkabar masa kecil. Dua
orang perempuan menjadi sahabat penaku, satu surat kembali. Ada kenikmatan
mendapat sepucuk surat berisi tulisan tangan seorang teman yang baru dikenal.
Perkenalan dibahasakan lewat surat. Tidak ketika membaca isinya.
Surat kembali mewarnai kisah
percintaan di zamanku. Seorang teman mengirimiku surat. Teman sebangkuku
berkata, surat cinta. Sepotong lirik lagu berjudul Surat Cinta dengan
pelantun cantik Vina Panduwinata berbagi kisah. Satu dua dan tiga|
Kumulai membaca| Surat cintaku yang pertama| Membikin hatiku berlomba| Seperti
melody yang indah| Kata-kata cintanya| padaku. Aku membaca surat penuh
gembira. Teman yang lain pernah memintaku. Menuliskan surat untuk gadis yang
disukainya. Ingatan masa lalu sering menarik simpul untuk tersenyum keterusan.
Surat menyurat tak lagi menggunakan perangko. Teman menjadi lantaran penyalur
surat kiriman dan balasan. Menarik. Surat menyurat tak pernah hilang dari
kehidupan. Berganti nama dan media. Berbekal handphone dan koneksi internet,
melalui pesan singkat sms, mms, e-mail siapapun bisa berkomunikasi jarak jauh.
Tulisan tangan menjelma ketrampilan mengetik.
Surat menyurat, email, sms, mms,
semua berhuruf. Mengeja kata dalam susunan huruf. Manusia berbahasa. Bahasa tak
lekas meninggalkan usia. Beranjak dewasa. Hidup bersama Bahasa. Surat menyurat
berlalu bersama tulisan diary. Begitu kata guruku. Berkabar tak lagi melalui
surat. Dengan buku surat menyurat bergerak. Berkirim dan diperuntukkan untuk
diri. Apa pentingnya? Rating penilaian selalu mengiringi. Berkisah diri dalam
catatan harian mengenalkan pada berbagai jenis tulisan. Aku mulai bercerita dengan
tinta. Menuliskan imajinasi dan meminta teman untuk membaca. Beberapa selesai
beberapa tidak. Cerita bersambung mulai dibuahi. Tapi berhenti. Pembacaku
berganti. Teman menasehati sebagai koreksi diri. Aku tidak menolak. Ceritaku
malang. Dihujani kesedihan. Kasihan.
Masa kecil tak hilang begitu
saja. Tertiup angin hingga usia dewasa. Aku pernah berniat menjadi seorang
penulis. Berikhtiar untuk tetap menulis. Kembang kempis perkembangan kurasakan
dengan rasa takut. Tak ada dukungan. Harapanku berbuah naskah cerita yang
ditolak. Aku menyadari. Naskah itupun masih awet dengan sedikit editan. Masih
kurang untuk bisa jadi novel yang lebih dari 100 halaman. aku mendadak sibuk.
Merampungkan tulisan sekaligus mengeditnya sesuai keinginan penerbit yang
pernah aku kirimi. Lama. Aku kewalahan. Jenuh datang. Pun keyakinan hanyut
bersama aktivitas baru yang lebih menyenangkan. Perlahan aku kalah. Memilih
menyudahi dan membaca lagi. Tidak lagi. Membaca dan menulis. Hidup untuk
berliterasi. Kebutuhan. Bahwa menulis bukanlah kerja sendirian. Pun Membaca.
tulisanmu apiik yus :)
BalasHapussuwun nox, kritik saran tak enteni via sms, telpun, kapanpun. ikuti blogku nox
Hapus