Senin, 03 Maret 2014

Aku dan Jemari

Oleh: Yuslisul Pransiskasari

Perasaan bersalah atas janji diri mulai menuai. Menghantuiku, merampas kepercayaan. Sebiji kata tak lagi hadir menjadi kegiatan harian. Aku bersalah. Aku masih belajar. Tapi tak kunjung berlangsung kembali. Padam sementara. Aku mencari nyala diri, tapi belum berhasil. Berkali-kali mas Bandung kuusik dengan sms tak penting. Beruntung masih dibalas. Namun bukan jawaban. Dan temuan itu berlari pada seorang teman. Iri ini mulai panas. Menyulut api perasaan yang lain. Menyalakan janji yang semula padam. Meminta sang induk membuahi telurnya dalam kendali suhu. Beranak pinak menghasilkan keturunan. Membentuk ikatan keluarga bernama saudara dan orang tua. Terus begitu. Kemudian nyala ini meminta penjagaan ketat layaknya sang prajurit pengawas kerajaan. Jari-jari mulai melemas, bermain tuts keyboard ASUS merahku. Terlahir buah hati dari jeda berjarak sepuluh hari. Kisah tertuang dalam lembaran selanjutnya. 

Bermula dari buku. Perjalanan puluh tahun datang silih berganti. Mengendarai kuda tanpa kendali. Keluar
masuk wilayah tanpa permisi dan disilakan. Berjajar sembarang nama toko buku: loakan, toga mas, gramedia, Oscar, perdana, pratama, alif, perpustakaan, bazar buku. Mulai tak asing lagi sampai aku usia dewasa. Majalah Bobo, Mentari, Annida, KaWanku, Joyoboyo, Penjebar Semangat pernah menjadi bagian yang menyenangkan. Perjalanan antara berada di rumah dengan hiruk pikuk kota mengalir bersama kunjungan di rumah nenek, mengikuti. Tak mau begitu saja ditinggalkan. Aku masih berlalu bersama kendali saku di bawah ketiak orang tuaku.

Kami tidak menyadari. Tinggal bersama buku sejak kecil adalah bagian dari hidup. Buku tak bernyawa. Tapi dia bergerak. Huruf-huruf tertata membentuk kata. Kata terangkai dalam kalimat: bermakna. Buku hidup dalam rak-rak di rumah. Berbaris rapi. Tak lagi ada sentuhan. Pertanda nasib buku malang. Ada pertentangan ketika nasib buku beradu dengan keinginan. Jarang ada buku-buku baru dengan dalih buku lama masih layak, sabda ibuku. Harapan gelontoran jatah majalah Bobo perminggu tetap bertahan. Namun sayang. Minim. Harapan berubah rengekan, tak jarang tangisan. Masa kecil yang makin kurindukan.

Ingatanku mengembara waktu, menyusuri lorong sempit bernama kenangan masa lalu. Rubrik Apa kabar Bo? menjadi bacaan pertama. terhenti pada surat pembaca. Aku tak pernah berhasrat untuk mengirim surat pada Bobo tapi aku sering berkeinginan untuk mencatat alamat penulis surat. Mencatat alamat di beberapa majalah dan mengirimi mereka dengan surat perkenalan. Membeli kartu pos dengan beragam pilihan gambar, membeli amplop, menempeli dengan perangko adalah ritual berkabar masa kecil. Dua orang perempuan menjadi sahabat penaku, satu surat kembali. Ada kenikmatan mendapat sepucuk surat berisi tulisan tangan seorang teman yang baru dikenal. Perkenalan dibahasakan lewat surat. Tidak ketika membaca isinya.

Surat kembali mewarnai kisah percintaan di zamanku. Seorang teman mengirimiku surat. Teman sebangkuku berkata, surat cinta. Sepotong lirik lagu berjudul Surat Cinta dengan pelantun cantik Vina Panduwinata berbagi kisah. Satu dua dan tiga| Kumulai membaca| Surat cintaku yang pertama| Membikin hatiku berlomba| Seperti melody yang indah| Kata-kata cintanya| padaku. Aku membaca surat penuh gembira. Teman yang lain pernah memintaku. Menuliskan surat untuk gadis yang disukainya. Ingatan masa lalu sering menarik simpul untuk tersenyum keterusan. Surat menyurat tak lagi menggunakan perangko. Teman menjadi lantaran penyalur surat kiriman dan balasan. Menarik. Surat menyurat tak pernah hilang dari kehidupan. Berganti nama dan media. Berbekal handphone dan koneksi internet, melalui pesan singkat sms, mms, e-mail siapapun bisa berkomunikasi jarak jauh. Tulisan tangan menjelma ketrampilan mengetik.

Surat menyurat, email, sms, mms, semua berhuruf. Mengeja kata dalam susunan huruf. Manusia berbahasa. Bahasa tak lekas meninggalkan usia. Beranjak dewasa. Hidup bersama Bahasa. Surat menyurat berlalu bersama tulisan diary. Begitu kata guruku. Berkabar tak lagi melalui surat. Dengan buku surat menyurat bergerak. Berkirim dan diperuntukkan untuk diri. Apa pentingnya? Rating penilaian selalu mengiringi. Berkisah diri dalam catatan harian mengenalkan pada berbagai jenis tulisan. Aku mulai bercerita dengan tinta. Menuliskan imajinasi dan meminta teman untuk membaca. Beberapa selesai beberapa tidak. Cerita bersambung mulai dibuahi. Tapi berhenti. Pembacaku berganti. Teman menasehati sebagai koreksi diri. Aku tidak menolak. Ceritaku malang. Dihujani kesedihan. Kasihan.

Masa kecil tak hilang begitu saja. Tertiup angin hingga usia dewasa. Aku pernah berniat menjadi seorang penulis. Berikhtiar untuk tetap menulis. Kembang kempis perkembangan kurasakan dengan rasa takut. Tak ada dukungan. Harapanku berbuah naskah cerita yang ditolak. Aku menyadari. Naskah itupun masih awet dengan sedikit editan. Masih kurang untuk bisa jadi novel yang lebih dari 100 halaman. aku mendadak sibuk. Merampungkan tulisan sekaligus mengeditnya sesuai keinginan penerbit yang pernah aku kirimi. Lama. Aku kewalahan. Jenuh datang. Pun keyakinan hanyut bersama aktivitas baru yang lebih menyenangkan. Perlahan aku kalah. Memilih menyudahi dan membaca lagi. Tidak lagi. Membaca dan menulis. Hidup untuk berliterasi. Kebutuhan. Bahwa menulis bukanlah kerja sendirian. Pun Membaca.


2 komentar:

  1. Balasan
    1. suwun nox, kritik saran tak enteni via sms, telpun, kapanpun. ikuti blogku nox

      Hapus

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah