Berita korupsi
tak henti-hentinya disuarakan oleh berbagai media televisi, radio, koran, orang
per orang, hingga menjangkiti anak kecil dalam guyonan kecil mereka tentang
seorang maling. Cerita masa kecilku tentang buruknya perilaku maling nyatanya
hingga sebesar ini tidak sedikit pula yang menjajalnya. Tindakan ini dilakukan secara terang-terangan. Bila dalam
cerita masa kecilku perilaku ini hanya sengaja ditujukan untuk mengklaim mereka
yang ‘miskin’
beda soal dalam dekade beberapa tahun terakhir ini. Mulai dari kenaikan biaya pendidikan, pemaksaan les oleh guru bidang studi yang berdampak pada nilai, pemalsuan data pelaku pendidikan untuk mendapatkan beasiswa sekolah yang lebih tinggi, pegawai negeri dengan dana BOSnya, pegawai BANK dengan uang negaranya, sampai pejabat yang memiliki kekayaan jauh di ambang batas kemiskinanpun melakoninya. Bahkan tidak dinyana apa-apa praktisi pendidikan pun ingin mencoba betapa nikmatnya kursi panas koruptor ini diduduki.
beda soal dalam dekade beberapa tahun terakhir ini. Mulai dari kenaikan biaya pendidikan, pemaksaan les oleh guru bidang studi yang berdampak pada nilai, pemalsuan data pelaku pendidikan untuk mendapatkan beasiswa sekolah yang lebih tinggi, pegawai negeri dengan dana BOSnya, pegawai BANK dengan uang negaranya, sampai pejabat yang memiliki kekayaan jauh di ambang batas kemiskinanpun melakoninya. Bahkan tidak dinyana apa-apa praktisi pendidikan pun ingin mencoba betapa nikmatnya kursi panas koruptor ini diduduki.
Asumsi
masyarakat terkait maling sudah begitu buruknya. Mulai dari miskin, himpitan
ekonomi, memenuhi kebutuhan individu, namun siapapun aakan mengkerutkan kening
ketika pelaku korupsi mengenai anak negri seorang pejabat pemerintah yg
hartanya tidak bisa dibilang main-main. Tentu masalah utama bukan perkara
kebutuhan materi yang tidak tercukupi. Ada sisi dimana mereka tidak merasa puas
dengan perilaku korupsi. Akhirnya kepuasan terobsesi pada sikap buruk (baca :
koruptor) untuk memenuhi kebutuhan non-materi.
Kalau
seorang pencuri ketika ketahuan mencuri, amuk massa menjadi hukuman. Lain soal
dengan koruptor. Koruptor tingkat kakap mencuri uang rakyat demi kepentingan
kelompok bahkan pribadi tak sebanding hukumannya dengan hukuman rakyat jelata.
Pencurian yang dilakukan oleh orang miskin dengan dalih impitan ekonomi
menyisakan akibat yang permanen. Pukulan fisik akibat amuk massa, cercaan yang
menurunkan drastis mental pelaku sering memberikan efek jera dan lenyap dalam
bumi sosial di masyarakat. Kiranya hukuman itu tak pernah sebanding dengan pelaku
koruptor negeri yang semakin kondang namanya dilafalkan oleh generasi anak
cucu.
Koruptor-koruptor negeri belum diberikan hukuman yang memberikan efek jera. Tawaran anak
negeri terkait hukuman yang dijatuhkanpun hanya sbagai angin lalu yang diminta
namun tidak ditindaklanjuti secara serius. Negeri ini sakit secara sadar dan
melakukannya secara berjamaah. Bukan mendapatkan hukuman karena perilaku ini
tergolong dalam daftar sikap buruk namun justru memberikan sikap bangga.
Kiranya budaya ini perlu ditindaklanjuti. Rasa bangga ini perlu dipupuk tidak
lagi harus dihujani berbagai cercaan karena negeri ini sedang sakit. Penawarnya
dengan memberikan kebanggaan kepada para koruptor kelas bawah sampai kakap
sekalipun. Karena apa? Karena negeri ini sudah kehabisan bahan bakar untuk
menghukum dengan cara apapun.
Pupukan
rasa bangga terhadap pelaku koruptorpun perlu dilakukan secara massif dan
universal agar semua rakyat dapat merasakan. Saling merasakan dan hingga pada
suatu ketika Indonesia akan menjadi juara dunia atas budaya korupsi. Bukankah
itu suatu kebanggaan kawan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah