Minggu, 10 November 2013

Penawar Negri Berbudaya



Berita korupsi tak henti-hentinya disuarakan oleh berbagai media televisi, radio, koran, orang per orang, hingga menjangkiti anak kecil dalam guyonan kecil mereka tentang seorang maling. Cerita masa kecilku tentang buruknya perilaku maling nyatanya hingga sebesar ini tidak sedikit pula yang menjajalnya. Tindakan ini dilakukan secara terang-terangan. Bila dalam cerita masa kecilku perilaku ini hanya sengaja ditujukan untuk mengklaim mereka yang ‘miskin’
beda soal dalam dekade beberapa tahun terakhir ini. Mulai dari kenaikan biaya pendidikan, pemaksaan les oleh guru bidang studi yang berdampak pada nilai, pemalsuan data pelaku pendidikan untuk mendapatkan beasiswa sekolah yang lebih tinggi, pegawai negeri dengan dana BOSnya, pegawai BANK dengan uang negaranya, sampai pejabat yang memiliki kekayaan jauh di ambang batas kemiskinanpun melakoninya. Bahkan tidak dinyana apa-apa praktisi pendidikan pun ingin mencoba betapa nikmatnya kursi panas koruptor ini diduduki.
Asumsi masyarakat terkait maling sudah begitu buruknya. Mulai dari miskin, himpitan ekonomi, memenuhi kebutuhan individu, namun siapapun aakan mengkerutkan kening ketika pelaku korupsi mengenai anak negri seorang pejabat pemerintah yg hartanya tidak bisa dibilang main-main. Tentu masalah utama bukan perkara kebutuhan materi yang tidak tercukupi. Ada sisi dimana mereka tidak merasa puas dengan perilaku korupsi. Akhirnya kepuasan terobsesi pada sikap buruk (baca : koruptor) untuk memenuhi kebutuhan non-materi.
        Kalau seorang pencuri ketika ketahuan mencuri, amuk massa menjadi hukuman. Lain soal dengan koruptor. Koruptor tingkat kakap mencuri uang rakyat demi kepentingan kelompok bahkan pribadi tak sebanding hukumannya dengan hukuman rakyat jelata. Pencurian yang dilakukan oleh orang miskin dengan dalih impitan ekonomi menyisakan akibat yang permanen. Pukulan fisik akibat amuk massa, cercaan yang menurunkan drastis mental pelaku sering memberikan efek jera dan lenyap dalam bumi sosial di masyarakat. Kiranya hukuman itu tak pernah sebanding dengan pelaku koruptor negeri yang semakin kondang namanya dilafalkan oleh generasi anak cucu.
         Koruptor-koruptor negeri belum diberikan hukuman yang memberikan efek jera. Tawaran anak negeri terkait hukuman yang dijatuhkanpun hanya sbagai angin lalu yang diminta namun tidak ditindaklanjuti secara serius. Negeri ini sakit secara sadar dan melakukannya secara berjamaah. Bukan mendapatkan hukuman karena perilaku ini tergolong dalam daftar sikap buruk namun justru memberikan sikap bangga. Kiranya budaya ini perlu ditindaklanjuti. Rasa bangga ini perlu dipupuk tidak lagi harus dihujani berbagai cercaan karena negeri ini sedang sakit. Penawarnya dengan memberikan kebanggaan kepada para koruptor kelas bawah sampai kakap sekalipun. Karena apa? Karena negeri ini sudah kehabisan bahan bakar untuk menghukum dengan cara apapun.
       Pupukan rasa bangga terhadap pelaku koruptorpun perlu dilakukan secara massif dan universal agar semua rakyat dapat merasakan. Saling merasakan dan hingga pada suatu ketika Indonesia akan menjadi juara dunia atas budaya korupsi. Bukankah itu suatu kebanggaan kawan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah