Entah mengapa
aku seringkali merasa tidak beruntung dalam keberuntunganku. Merasa bersyukur
di tengah himpitan pikiran yang menerjang badai otak. Gemuruhnya seperti ombak di lautan akal. Kau tahu aku sungguh
menginginkan hidup yang mustahil kudapatkan. Apa itu bisa dikatakan mimpi? Apa
itu cita-cita? Jangan dipikirkan terlalu serius, cukup aku saja. Kalian baca
saja.
Aku
seorang karier sekalipun aku belum memiliki pekerjaan tetap. Gajiku sebulan
sudah cukup untuk jajan dan menabung rutin. Tapi aku bukan keduanya. Aku gemar
menghabiskan uang dalam beberapa waktu saja. Sekalipun menabung dan jajan
secukupnya menjadi caraku menata hidup. Nyatanya aku tidak benar-benar menata
hidupku. Ada naluri lain yang harus dipenuhi sekalipun tidak bermanfaat untuk
hari ini. Contohnya saja seperti belanja buku atau hal lain. Aku tidak pernah
merasa eman ketika berbelanja buku. Kubahiskan gaji hingga tabungan
hanya demi buku. Tapi kemampuan membeli buku tak sebanding dengan kesempatan
membaca. Aku sengaja menjadi sok-sokan soal waktu. Aku sok merasa repot hanya
untuk membaca buku. Aku tak pernah serius membaca buku.
Lusa,
seorang kawan menyindirku. Ia bilang tak ada guna membeli banyak buku jika
hanya menjadi rongsokan. Ia bilang buku itu rongsokan. Aku tidak marah. Aku
hanya tersenyum dengan perkataannya. Aku juga tidak membalas ucapannya. Kupikir
dia tidak membutuhkan balasan. Mungkin saja ia hanya ingin mengolokku. Aku
terima dengan lapang dada. Hatiku berbisik,”Ia ada benarnya.” Bahkan
perkataan seseorang yang tidak menyukai buku ada benarnya juga. Sungguh,
kebenaran tidak melihat siapa yang berbicara, tapi melihat apa yang
dibicarakannya. Aku jadi ingat kisah yang pernah ibu ceritakan. Almarhumah mbah
ibu pernah gemar makan pete, saat beliau buang air ke kamar mandi, ibuku
sampai capek mengguyurnya dengan banyak air agar baunya lekas hilang. Sama
halnya dengan perbandingan orang yang gemar makan pete dan tidak. Bau
akan menyengat pada hidung orang yang tidak menyukainya.
Entah mengapa
buku begitu penting bagiku. Aku sungguh mencintai buku. Dimanapun aku berada
bila ada buku, aku akan nyaman. Ya. Buku sudah menjadi teman sejak aku masih
kecil, sejak ibu menyisihkan uang untuk membelikanku majalah Bobo. Aku tahu,
cintaku pada buku sungguh keterlaluan. Aku jauh melampaui rasa cintaku sendiri.
Karena hasrat terdalam adalah memiliki buku. Sungguh. Segala buku ingin
kumiliki. Apakah sikap ini baik? Tentu tidak. Sikap ini tidak seimbang. Sikap
yang tak seimbang tidak akan menjadi baik dan bisa merusak kesehatan pikiran.
Tentu dibayar dengan waktu yang tak berkesudahan. Entah manusia macam apa aku
ini. Lantas apa aku punya rasa kemanusiaan pada buku? Tentu saja tidak. Wong
aku ini belum pantas disebut manusia. Lanjut ke buku. Sudah lebih dari
seperempat abad kujalani hidup berhura-hura dengan buku. Hanya sedikit saja
mampu kurasai nikmat membaca buku. Sedikit dari usiaku. Apa aku sakit? Ya,
kurasa aku berpenyakit. Namun jangan khawatir begitu. Penyakitku memang bisa
menular, tapi kalian bisa membuatnya cepat sembuh. Caranya mudah. Hanya dengan
menyediakan waktu barang sejam dua jam tiap hari tanpa handphone untuk
membaca buku? Kalian sanggup? Silakan dicoba.