Sabtu, 15 Desember 2018

Cerpen Selembar 1# Kucinta Kau, Buku

Entah mengapa aku seringkali merasa tidak beruntung dalam keberuntunganku. Merasa bersyukur di tengah himpitan pikiran yang menerjang badai otak. Gemuruhnya seperti  ombak di lautan akal. Kau tahu aku sungguh menginginkan hidup yang mustahil kudapatkan. Apa itu bisa dikatakan mimpi? Apa itu cita-cita? Jangan dipikirkan terlalu serius, cukup aku saja. Kalian baca saja.
                Aku seorang karier sekalipun aku belum memiliki pekerjaan tetap. Gajiku sebulan sudah cukup untuk jajan dan menabung rutin. Tapi aku bukan keduanya. Aku gemar menghabiskan uang dalam beberapa waktu saja. Sekalipun menabung dan jajan secukupnya menjadi caraku menata hidup. Nyatanya aku tidak benar-benar menata hidupku. Ada naluri lain yang harus dipenuhi sekalipun tidak bermanfaat untuk hari ini. Contohnya saja seperti belanja buku atau hal lain. Aku tidak pernah merasa eman ketika berbelanja buku. Kubahiskan gaji hingga tabungan hanya demi buku. Tapi kemampuan membeli buku tak sebanding dengan kesempatan membaca. Aku sengaja menjadi sok-sokan soal waktu. Aku sok merasa repot hanya untuk membaca buku. Aku tak pernah serius membaca buku.
                Lusa, seorang kawan menyindirku. Ia bilang tak ada guna membeli banyak buku jika hanya menjadi rongsokan. Ia bilang buku itu rongsokan. Aku tidak marah. Aku hanya tersenyum dengan perkataannya. Aku juga tidak membalas ucapannya. Kupikir dia tidak membutuhkan balasan. Mungkin saja ia hanya ingin mengolokku. Aku terima dengan lapang dada. Hatiku berbisik,”Ia ada benarnya.” Bahkan perkataan seseorang yang tidak menyukai buku ada benarnya juga. Sungguh, kebenaran tidak melihat siapa yang berbicara, tapi melihat apa yang dibicarakannya. Aku jadi ingat kisah yang pernah ibu ceritakan. Almarhumah mbah ibu pernah gemar makan pete, saat beliau buang air ke kamar mandi, ibuku sampai capek mengguyurnya dengan banyak air agar baunya lekas hilang. Sama halnya dengan perbandingan orang yang gemar makan pete dan tidak. Bau akan menyengat pada hidung orang yang tidak menyukainya.
Entah mengapa buku begitu penting bagiku. Aku sungguh mencintai buku. Dimanapun aku berada bila ada buku, aku akan nyaman. Ya. Buku sudah menjadi teman sejak aku masih kecil, sejak ibu menyisihkan uang untuk membelikanku majalah Bobo. Aku tahu, cintaku pada buku sungguh keterlaluan. Aku jauh melampaui rasa cintaku sendiri. Karena hasrat terdalam adalah memiliki buku. Sungguh. Segala buku ingin kumiliki. Apakah sikap ini baik? Tentu tidak. Sikap ini tidak seimbang. Sikap yang tak seimbang tidak akan menjadi baik dan bisa merusak kesehatan pikiran. Tentu dibayar dengan waktu yang tak berkesudahan. Entah manusia macam apa aku ini. Lantas apa aku punya rasa kemanusiaan pada buku? Tentu saja tidak. Wong aku ini belum pantas disebut manusia. Lanjut ke buku. Sudah lebih dari seperempat abad kujalani hidup berhura-hura dengan buku. Hanya sedikit saja mampu kurasai nikmat membaca buku. Sedikit dari usiaku. Apa aku sakit? Ya, kurasa aku berpenyakit. Namun jangan khawatir begitu. Penyakitku memang bisa menular, tapi kalian bisa membuatnya cepat sembuh. Caranya mudah. Hanya dengan menyediakan waktu barang sejam dua jam tiap hari tanpa handphone untuk membaca buku? Kalian sanggup? Silakan dicoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah