Kamis, 04 Juni 2015

Pasar Mengisahkan Perempuan

Oleh: Yuslisul Pransiskasari
Mahasiswa FTIK IAIN Tulungagung Jurusan Tadris Matematika Semester VII 

Warna warni jajanan pasar menarik untuk dipandang. Sepasang mata telanjang segera tergoda dan menukarnya dengan rupiah sebagai oleh-oleh. Seperti oleh-oleh yang dibelikan ibu, nenek, bibi, budhe sepulang belanja dari pasar. Pasar melebihi toko serba ada. Bahan bangunan, barang pecah belah, perhiasan, sandang, pangan, papan semua tersedia dengan beragam harga.

Tawaran harga menjadi andalan setiap kepala sebagai alat penyambung obrolan. Obrolan pasar tak hanya berkisar harga. Lemparan guyonan, gunjingan, olokan, sumpah serapah, omong seng serta gojlokan abal-abal sering membuat nyaman. Obrolan tak mandek. Makin berkembang jadi ikatan keluarga berjembatan nama ‘pelanggan’. Atas nama pelanggan, siapapun berhak menjadi bagian.

Pasar Bercerita Perempuan
Tersebab kisah di masa lalu, perempuan mendapat tempat tak semestinya. Perempuan pernah merasai hidup tak tentram. Dikasari, diperintah, diburu, lalu dibunuh. Lalu usia bumi bertambah, perlakuan pada perempuan makin parah. Perempuan dijadikan budak, manusia pemuas dahaga lelaki, perempuan simpanan. Perempuan tak mendapat tempat nyaman untuk meletakkan dirinya.
Lembaran rupiah bernilai perempuan. Perempuan menjelma barang dagangan, milik umum, demi memenuhi dahaga kaum Adam. Tak juga kaum Adam. Pengakuan datang tak hanya bersumber pada kaum Adam, kaum Hawapun menyetujui. Mereka sepakat bahwa tindakan melacurkan diri sebagai ritual pemenuhan kepuasan diri. Tautan usia perempuan jadi pertaruhan harga. Kaum Adam persiapkan dompet tebal terisi rupiah berlembar-lembar warna merah.
Kabar hangat tentang perempuan menimpa Dolly, lokalisasi di Surabaya. Pelacuran seperti makin dilestarikan ketika mendapat tempat. Namun makin tak karuan ketika terusik bahkan dihancurkan. Perubahan sudah terjadi di Ngunut, Tulungagung. Lokalisasi beralih fungsi jadi warung kopi dan karaoke. Isu lain menyusul sebagai pelengkap atas bumbu yang sudah disiapkan.
Lokalisasi layaknya selokan di dukuh, dusun, desa, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, pulau, negara. Selokan yang berfungsi sebagai pembuangan. Diamini menjadi bagian penyeimbang.
Dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Ahmad Tohari (kemudian disebut Tohari) berkisah lewat tokoh utamanya, Rasus. Rasus memberi tempat istimewa bagi sosok perempuan yang telah melahirkannya. Sosok itu dibentuk dalam diri Srintil. Srintil jadi begitu berharga bagi Rasus.
Srintil, seorang gadis berusia 11 tahun yang diyakini sebagai penari ronggeng di Dukuh Paruk. Ritual penyempurnaan menjadi ronggeng dikenalkan dengan istilah malam bukak klambu: malam penyerahan keperawanan kepada lelaki yang membayar paling mahal sesuai ketentuan dukun ronggeng. Lelakon wajib bagi seorang ronggeng. Tohari merangkum tindakan memperjualkan diri pada diri Srintil. Keperawanan Srintil disayembarakan untuk meraup bayaran tertinggi. 
Tohari menyebut Srintil lain sebagai perempuan sundal. Tohari berkisah dalam satu paragraf.
“Disini memang pasar. Perempuan yang datang berbelanja kemari tidak semua berasal dari Dukuh Paruk. Seorang sundal pun, bila dia bukan perempuan Dukuh Paruk, akan marah bila tersentuh pipinya di depan orang banyak. Meski hanya berpura-pura, namun demikianlah adanya.”

Istilah perempuan sengaja dipisahkan dengan nama Dukuh Paruk. Menegaskan, ada perempuan bukan sundal di Dukuh Paruk. Tohari sengaja memotret Dukuh Paruk sebagai desa terpencil, terbelakang di Banyumas. Selain pelaku kehidupan di dukuhnya sendiri, Tohari berikhtiar menuntaskan cerita perempuan di Dukuh Paruk sesuai aslinya.  Tohari punya ungkapan lain tentang perempuan, pasar, dan uang dalam novelnya.

Gadis-gadis warung di sekeliling pasar Dawuan kebanyakan senang bergurau dengan para lelaki. Ulahnya tidak jauh berbeda dengan perempuan Dukuh Paruh. Beberapa di antaranya mau menerima uangku dan tidak berkeberatan kubawa pergi.

Tohari memperluas pengertian perempuan sebagai pekerja. Uang dan kerelaan untuk menerima ajakan lelaki menjadi syarat telak bagi perawan di sekeliling pasar Dawuan. Perawan di sekeliling pasar Dawuan mewakili ulah perempuan di Dukuh Paruk. Tohari sengaja memakai dua kata bersinonim: gadis dan perempuan dengan gambaran kondisi berbeda. Ada kesan menegaskan bahwa istilah itu merujuk pada kepemilikan lelaki secara resmi.

Perempuan Dikisahkan Lelaki
Berbeda dengan Tohari, Rendra patut bersyukur. Dahaknya pada puisi berjudul Pesan Pencopet kepada Pacarnya (2011) menarik hati.

Nasibmu sudah lumayan
Dari babu dari selir kepala jawatan
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan
Masa depanku terang repot
Sebagai pencopet nasibku untung-untungan
Ini bukan ngesah
Tapi aku memang bukan bapak yang baik untuk bayi yang lagi kau kandung

Rendra memotret sisi lain dari kehidupan perempuan. Soal bagaimana menikmati perempuan tanpa perlu berdompet tebal. Perempuan bersuamipun bisa menjadi milik lelaki lain. Sebagaimana kalimat putus asa: “Sebagai pencopet nasibku untung-untungan.” Rendra berhasil meletakkan posisi pencopet sebagai tokoh utama yang bimbang. Bimbang atas pilihan perempuan padanya. Perempuan dalam puisi Rendra terang terima atas hidup untung-untungan Si pencopet.
Tokoh perempuan berani memutuskan hidup menjadi seorang perempuan seutuhnya. Bahwa persoalan perempuan menjadi istri adalah persoalan kompleks. Menjadi istri merawat, melayani kebutuhan suami, memenuhi nafkah batin, merasakan hamil, ngidam, lalu melahirkan.. Memiliki anak menghasilkan keturunan, merawat bayi hingga usia dewasa, mendidik anak agar ulah tak kebablasan, mengajari sopan santun. Berkeluarga, menjadi istri, memiliki anak jadi ukuran kebahagiaan setiap perempuan.
Kisah lain diceritakan WS Rendra dalam antologi puisi berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi (1996). Menyinggung pendidikan dan perempuan.

Pendidikan membuatku terikat
pada pasar mereka, pada modal mereka.
Dan kini setelah aku dewasa.
Kemana lagi aku ‘kan lari,
bila tidak ke dunia majikan?
Ah, Wah.
Uang yang tuan selipkan ke behaku
adalah ijazah pendidikanku

Ada permainan menantang antara pendidikan dan perempuan. Perempuan digambarkan terikat oleh sistem. Tak bisa bergerak sesuai kehendak diri. Ijazah menjadi legalisasi pekerjaan bagi tokoh perempuan dalam puisi Rendra. Ijazah perempuan menjadi tiket masuk ke ranah pekerjaan berlabel bebas. Terkurung dalam dunia majikan sebagai gundik.
Nyatanya perempuan punya banyak mau. Maunya terhalang kondisi. Namun tak segala kondisi dibiarkan berlalu begitu saja. Perempuan bisa saja lari kesana kemari demi peroleh rezeki. Tanpa ijazah perempuan berdaya. Berikhtiar penuhi kebutuhan keluarga. Membantu suami kuatkan ekonomi.
Tak seperti jaman kartini, perempuan saat ini berjaya. Dapatkan pendidikan berbonus ijazah. Pendidikan jenjang SD, SMP, SMA sudah biasa. Menjamur di penjuru wilayah. Namun naas diterima. Ijazah sering tak berbuah gembira. Nestapa sering berkunjung menyapa. Bila tak punya cukup keahlian dan ketrampilan, hidup akan bergantung pada nasib. Nasib baik beroleh bahagia. Nasib buruk tak mengapa. Pasrah diterima sebagai senjata. Keberuntungan jadi mukjizat yang paling ditunggu. Hingga perempuan dalam puisi Rendra sampai pada keyakinan, selipan uang di beha jadi ijazah pekerjaannya. Atas nama kebutuhan, pekerjaan dilegalkan. 
Tubuh perempuan menjadi barang umum, milik lelaki manapun, siapapun dia, berapapun penghasilannya. Pada akhirnya, keinginan perempuan mempunyai tubuhnya sendiri sering terganjal pendidikan, kemampuan, ketrampilan. Bahwa ijazah melegalkan segala cara beroleh pekerjaan. Sejatinya, dalam lubuk hati sekecil biji zarahpun, perempuan tetap berkeinginan merawat diri keperempuannya sebagaimana mestinya. Tubuh perempuan adalah milik perempuan. Bukan yang lain.

*) Tulisan ini dimuat di majalah LPM DIMeNSI IAIN Tulungagung edisi XXXIII rubrik Susastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah