Mahasiswa FTIK IAIN Tulungagung Jurusan Tadris Matematika Semester VII
Warna
warni jajanan pasar menarik untuk dipandang. Sepasang mata telanjang segera
tergoda dan menukarnya dengan rupiah sebagai oleh-oleh. Seperti oleh-oleh yang
dibelikan ibu, nenek, bibi, budhe sepulang belanja dari pasar. Pasar melebihi
toko serba ada. Bahan bangunan, barang pecah belah, perhiasan, sandang, pangan,
papan semua tersedia dengan beragam harga.
Tawaran
harga menjadi andalan setiap kepala sebagai alat penyambung obrolan. Obrolan
pasar tak hanya berkisar harga. Lemparan guyonan, gunjingan, olokan, sumpah
serapah, omong seng serta gojlokan
abal-abal sering membuat nyaman. Obrolan tak mandek. Makin berkembang jadi
ikatan keluarga berjembatan nama ‘pelanggan’. Atas nama pelanggan, siapapun
berhak menjadi bagian.
Pasar Bercerita Perempuan
Tersebab
kisah di masa lalu, perempuan mendapat tempat tak semestinya. Perempuan pernah
merasai hidup tak tentram. Dikasari, diperintah, diburu, lalu dibunuh. Lalu
usia bumi bertambah, perlakuan pada perempuan makin parah. Perempuan dijadikan
budak, manusia pemuas dahaga lelaki, perempuan simpanan. Perempuan tak mendapat
tempat nyaman untuk meletakkan dirinya.
Lembaran
rupiah bernilai perempuan. Perempuan menjelma barang dagangan, milik umum, demi
memenuhi dahaga kaum Adam. Tak juga kaum Adam. Pengakuan datang tak hanya
bersumber pada kaum Adam, kaum Hawapun menyetujui. Mereka sepakat bahwa
tindakan melacurkan diri sebagai ritual pemenuhan kepuasan diri. Tautan usia
perempuan jadi pertaruhan harga. Kaum Adam persiapkan dompet tebal terisi
rupiah berlembar-lembar warna merah.
Kabar
hangat tentang perempuan menimpa Dolly, lokalisasi di Surabaya. Pelacuran
seperti makin dilestarikan ketika mendapat tempat. Namun makin tak karuan
ketika terusik bahkan dihancurkan. Perubahan sudah terjadi di Ngunut,
Tulungagung. Lokalisasi beralih fungsi jadi warung kopi dan karaoke. Isu lain
menyusul sebagai pelengkap atas bumbu yang sudah disiapkan.
Lokalisasi
layaknya selokan di dukuh, dusun, desa, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi,
pulau, negara. Selokan yang berfungsi sebagai pembuangan. Diamini menjadi
bagian penyeimbang.
Dalam
novelnya Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Ahmad Tohari (kemudian disebut Tohari)
berkisah lewat tokoh utamanya, Rasus. Rasus memberi tempat istimewa bagi sosok
perempuan yang telah melahirkannya. Sosok itu dibentuk dalam diri Srintil.
Srintil jadi begitu berharga bagi Rasus.
Srintil,
seorang gadis berusia 11 tahun yang diyakini sebagai penari ronggeng di Dukuh
Paruk. Ritual penyempurnaan menjadi ronggeng dikenalkan dengan istilah malam bukak klambu: malam penyerahan keperawanan kepada lelaki yang membayar
paling mahal sesuai ketentuan dukun ronggeng. Lelakon wajib bagi seorang
ronggeng. Tohari merangkum tindakan memperjualkan diri pada diri Srintil.
Keperawanan Srintil disayembarakan untuk meraup bayaran tertinggi.
Tohari
menyebut Srintil lain sebagai perempuan sundal. Tohari berkisah dalam satu
paragraf.
“Disini
memang pasar. Perempuan yang datang berbelanja kemari tidak semua berasal dari
Dukuh Paruk. Seorang sundal pun, bila dia bukan perempuan Dukuh Paruk, akan
marah bila tersentuh pipinya di depan orang banyak. Meski hanya berpura-pura,
namun demikianlah adanya.”
Istilah
perempuan sengaja dipisahkan dengan nama Dukuh Paruk. Menegaskan, ada perempuan
bukan sundal di Dukuh Paruk. Tohari sengaja memotret Dukuh Paruk sebagai desa
terpencil, terbelakang di Banyumas. Selain pelaku kehidupan di dukuhnya
sendiri, Tohari berikhtiar menuntaskan cerita perempuan di Dukuh Paruk sesuai
aslinya. Tohari punya ungkapan lain
tentang perempuan, pasar, dan uang dalam novelnya.
Gadis-gadis
warung di sekeliling pasar Dawuan kebanyakan senang bergurau dengan para
lelaki. Ulahnya tidak jauh berbeda dengan perempuan Dukuh Paruh. Beberapa di
antaranya mau menerima uangku dan tidak berkeberatan kubawa pergi.
Tohari
memperluas pengertian perempuan sebagai pekerja. Uang dan kerelaan untuk
menerima ajakan lelaki menjadi syarat telak bagi perawan di sekeliling pasar
Dawuan. Perawan di sekeliling pasar Dawuan mewakili ulah perempuan di Dukuh
Paruk. Tohari sengaja memakai dua kata bersinonim: gadis dan perempuan dengan
gambaran kondisi berbeda. Ada kesan menegaskan bahwa istilah itu merujuk pada
kepemilikan lelaki secara resmi.
Perempuan Dikisahkan Lelaki
Berbeda
dengan Tohari, Rendra patut bersyukur. Dahaknya pada puisi berjudul Pesan Pencopet kepada Pacarnya (2011)
menarik hati.
Nasibmu
sudah lumayan
Dari
babu dari selir kepala jawatan
Apalagi?
Nikah
padaku merusak keberuntungan
Masa
depanku terang repot
Sebagai
pencopet nasibku untung-untungan
Ini
bukan ngesah
Tapi
aku memang bukan bapak yang baik untuk bayi yang lagi kau kandung
Rendra
memotret sisi lain dari kehidupan perempuan. Soal bagaimana menikmati perempuan
tanpa perlu berdompet tebal. Perempuan bersuamipun bisa menjadi milik lelaki
lain. Sebagaimana kalimat putus asa: “Sebagai pencopet nasibku
untung-untungan.” Rendra berhasil meletakkan posisi pencopet sebagai tokoh
utama yang bimbang. Bimbang atas pilihan perempuan padanya. Perempuan dalam
puisi Rendra terang terima atas hidup untung-untungan Si pencopet.
Tokoh
perempuan berani memutuskan hidup menjadi seorang perempuan seutuhnya. Bahwa
persoalan perempuan menjadi istri adalah persoalan kompleks. Menjadi istri
merawat, melayani kebutuhan suami, memenuhi nafkah batin, merasakan hamil,
ngidam, lalu melahirkan.. Memiliki anak menghasilkan keturunan, merawat bayi
hingga usia dewasa, mendidik anak agar ulah tak kebablasan, mengajari sopan
santun. Berkeluarga, menjadi istri, memiliki anak jadi ukuran kebahagiaan
setiap perempuan.
Kisah
lain diceritakan WS Rendra dalam antologi puisi berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi
(1996). Menyinggung pendidikan dan perempuan.
Pendidikan
membuatku terikat
pada
pasar mereka, pada modal mereka.
Dan
kini setelah aku dewasa.
Kemana
lagi aku ‘kan lari,
bila
tidak ke dunia majikan?
…
Ah,
Wah.
Uang
yang tuan selipkan ke behaku
adalah
ijazah pendidikanku
Ada
permainan menantang antara pendidikan dan perempuan. Perempuan digambarkan
terikat oleh sistem. Tak bisa bergerak sesuai kehendak diri. Ijazah menjadi legalisasi pekerjaan bagi
tokoh perempuan dalam puisi Rendra. Ijazah
perempuan menjadi tiket masuk ke ranah pekerjaan berlabel bebas. Terkurung dalam
dunia majikan sebagai gundik.
Nyatanya
perempuan punya banyak mau. Maunya terhalang kondisi. Namun tak segala kondisi
dibiarkan berlalu begitu saja. Perempuan bisa saja lari kesana kemari demi
peroleh rezeki. Tanpa ijazah
perempuan berdaya. Berikhtiar penuhi kebutuhan keluarga. Membantu suami kuatkan
ekonomi.
Tak
seperti jaman kartini, perempuan saat ini berjaya. Dapatkan pendidikan berbonus
ijazah. Pendidikan jenjang SD, SMP, SMA sudah biasa. Menjamur di penjuru
wilayah. Namun naas diterima. Ijazah sering tak berbuah gembira. Nestapa sering
berkunjung menyapa. Bila tak punya cukup keahlian dan ketrampilan, hidup akan
bergantung pada nasib. Nasib baik beroleh bahagia. Nasib buruk tak mengapa.
Pasrah diterima sebagai senjata. Keberuntungan jadi mukjizat yang paling
ditunggu. Hingga perempuan dalam puisi Rendra sampai pada keyakinan, selipan
uang di beha jadi ijazah pekerjaannya. Atas nama kebutuhan, pekerjaan
dilegalkan.
Tubuh perempuan menjadi barang umum,
milik lelaki manapun, siapapun dia, berapapun penghasilannya. Pada akhirnya, keinginan
perempuan mempunyai tubuhnya sendiri sering terganjal pendidikan, kemampuan,
ketrampilan. Bahwa ijazah melegalkan segala cara beroleh pekerjaan. Sejatinya,
dalam lubuk hati sekecil biji zarahpun, perempuan tetap berkeinginan merawat
diri keperempuannya sebagaimana mestinya. Tubuh perempuan adalah milik
perempuan. Bukan yang lain.
*) Tulisan ini dimuat di majalah LPM DIMeNSI IAIN Tulungagung edisi XXXIII rubrik Susastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
#Tuliskan apa yang kamu rasakan setelah membaca tulisan ini. Berkomentar boleh, memaki dipersilakan, curhat apalagi, terserah